REASONING : DEDUKTIF & INDUKTIF


Setiap orang memiliki sel-sel otak yang bekerja menurut tugasnya masing-masing. Salah satu pekerjaannya adalah berpikir. Setiap waktu, manusia pasti berpikir kecuali saat sedang tidur. Proses berpikir disebut dengan penalaran atau dalam bahasa Inggrisnya adalah reasoning. Penalaran adalah suatu proses berpikir yang dihasilkan dari suatu observasi empiric (pengamatan indera). Proses tersebut akan menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian akan sesuatu yang di amati. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proporsi, proporsi yang sejenis berdasarkan sejumlah proporsi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proporsi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses itulah disebut dengan menalar. Contoh menalar yaitu saat sedang menulis. Mengapa menulis disebut dengan menalar? Karena pada saat menulis kita harus berpikir, menghubungkan data-data atau fakta lalu membandingkannya.

Dalam penalaran, proporsi yang dijadikan dasae penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasilnya/kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut dengan konsekuensi.

Dalam menalar diperlukan metode yang dikenal dengan metode induktif dan metode deduktif. Metode induktif yaitu metode yang digunakan dalam berpikir dengan mengumpulkan dari hal-hal yang khusus ke umum. Contoh dari metode induktif yaitu bentuk generalisasi. Sedangkan metode deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk dihubungkan ke dalam bagian-bagian yang khususnya. Contoh : Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.

Penalaran Deduktif dan Induktif

Problem Solving


Logika dan penalaran selalu terkait dengan istilah problem solving dan critical thinking. Saat kita berhadapan dengan masalah, teka-teki, atau dilema, kita akan mencoba untuk mencari solusi yang beralasan. Langkah pertama dalam dalam memecahkan permasalahan (solving problem) adalah untuk memberikan definisi masalah secara jelas. Langkah ini seperti tidak melakukan apa-apa, namun, ini menjadi awal bagi tindakan yang terarah tepat menuju penyelesaian permasalahan. Selalu tanyakan tentang, “apa yang sebenarnya harus dilakukan?” Sebelum kita dapat menyelesaikan masalah, tentu kita harus memahami pertanyaan ini. Begitu permasalahan telah didefinisikan, semua informasi yang relevan terhadapnya harus dikumpulkan, diorganisasikan, dan di analisis. Dalam analisis ini kita membandingkan pula dengan penyelesaian yang sebelumnya diketahui. Apakah sama? Bagaimana bisa berbeda? Apakah solusi sebelumnya dapat diaplikasikan? Jika sesuai, buatlah skema permasalahan; representasi visual sering memberikan wawasan interpretasi petunjuk.

Sebelum menggunakan rumus atau sebuah metode, tentukan bahwa metode tersebut relevan terhadap situasi yang ada. Sebuah kesalahan umum bahwa kita sering menggunakan solusi pada tempat yang tidak tepat. Bila sebuah metode pernah digunakan dengan keberhasilan, gunakan kembali, bila tidak, cari penyelesaian standar yang memungkinkan dikembangkannya metode lain yang lebih kreatif. Jangan pernah mengkhawatirkan untuk mencoba sesuatu yang baru. “Bagaimana jika kita mencoba ini..?” mungkin memberikan inspirasi solusi yang unik.
Deduktif Reasoning

Logika deduktif dan struktur formal logika telah dipelajari selama bertahun-tahun, ribuan tahun. Salah satu Ilmuwan Logika kuno, dan yang paling terkenal, adalah Aristoteles (384 – 322 S.M). Dia adalah murid dari filsuf terkenal Plato dan merupakan guru dari Alexander agung, penjelajah daratan dari Yunani sampai India. Filosofi Aristoteles sangat berpengaruh, pengaruhnya mencapai Gereja Katolik yang dibawa oleh St. Thomas Aquinas, bahkan mempengaruhi filosofi modern. Selama berabad–abad, Logika yang dikembangkan Aristoteles menjadi bagian dari studi pengacara dan politik dan digunakan untuk membedakan argumen yang valid dan yang tidak.
Untuk Aristoteles, logika merupakan alat yang diperlukan dalam semua penyelidikan/penelitian, dan silogisme merupakan hasil dari semua buah pemikiran. Silogisme adalah sebuah argumen yang dibentuk oleh dua pernyataan yang disebut premis (premis mayor dan premis minor), yang diikuti dengan sebuah kesimpulan atau konklusi. Untuk semua premis yang diberikan, jika kesimpulan dalam argumen terjamin (dalam pengertian tidak ditemukan suatu sanggahan dengan cara bagaimanapun), argumen tersebut valid. Jika kesimpulan tidak terjamin (dalam pengertian minimal terdapat satu sanggahan yang tidak membenarkan kesimpulan), argumen tersebut tidak valid.
Salah satu silogisme populer Aristoteles adalah sebagai berikut:
1. Semua pria meninggal
2. Socrates adalah seorang pria
———————————————-
Maka, Socrates meninggal
Mayor premis yang diaplikasikan pada minor premis menyebabkan kesimpulan yang tak terbantahkan, maka argumen tersebut valid. Catat bahwa logika deduktif yang digunakan dalam contoh 1 memiliki struktur yang sama dengan silogisme Aristoteles tentang Socrates.
Logika deduktif ini sangat tepat diaplikasikan menggunakan diagram Venn. Valid dan tidak valid sering disalah artikan dengan benar dan tidak benar. Perhatikan contoh berikut ini.
1. Semua doctor laki-laki
2. Ibuku seorang doctor
————————————–
Maka, Ibuku laki-laki
Argumen diatas merupakan argumen yang valid. Namun, argumen yang valid tidak menunjukan kesimpulan yang benar. Seorang ibu tidak mungkin laki-laki! Validitas dan kebenaran tidak memiliki pengertian yang sama. Argumen dikatakan valid bila konklusi yang dihasilkan tak terbantahkan berdasarkan premis yang diberikan. Di sini tidak dikatakan tentang kebenaran premis yang diberikan. Karena itu, dalam menentukan validitas argumen, kita tidak sedang menentukan apakah kesimpulan yang diambil benar atau tidak. Argumen dikatakan valid bila dari premis yang diberikan, konklusi yang diperoleh logis. Memang benar, bila premis yang diberikan pada argumen yang valid bernilai benar, konklusi yang diperoleh juga bernilai benar.
Perhatikan contoh lain berikut ini.
1. Semua artis adalah aktivis politik
2. Tantowi Yahya adalah aktivis politik
—————————————————————-
Maka, Tantowi Yahya adalah seorang artis
Sekilas kesimpulan tersebut terlihat valid. Hal ini karena kita semua tahu bahwa Tantowi Yahya adalah seorang artis. Namun, bila kita melakukan analisa, kesimpulan itu tidak diperoleh secara logis. Premis pertama menunjukkan bahwa ada sebagian aktivis politik adalah seorang artis, yang berarti ada sebagian lain yang bukan artis. Premis kedua adalah pernyataan spesifik bahwa Tantowi Yahya adalah seorang aktivis politik. Tantowi Yahya bisa saja seorang artis, tetapi bisa saja bukan (terlepas dari pengetahuan umum) berdasarkan premis. Maka kesimpulan yang diperoleh tidak logis, karena adanya kemungkinan Tantowi Yahya bukan artis menyebabkan argumen ini tidak valid. Namun, argumen yang dikatakan tidak valid tidak berarti mengatakan bahwa kesimpulan yang diambil salah, sebagai bukti, Kita semua tahu bahwa Tantowi Yahya adalah seorang artis. Jadi Pernyataan kesimpulan dalam argumen diatas memang bernilai benar, namun, berdasarkan premis, argumen tersebut bukanlah argumen yang valid.
Inductive Reasoning

Konklusi dari argumen deduktif yang valid (yang mengaplikasikan pernyataan umum ke khusus), merupakan konklusi/kesimpulan yang terjamin. Dengan diberikan premis yang bernilai benar, kesimpulan yang benar dapat diperoleh. Namun, ada argumen yang tidak dijamin kebenarannya walaupun premis yang diberikan benar. Perhatikan contoh berikut:

1. Dika bersin saat bermain dengan kucing milik Anton
2. Dika bersin saat bermain dengan kucing milik Tono
———————————————————————————-
Maka, Dika adalah anak yang alergi terhadap kucing
Apakah konklusi tersebut tak terbantahkan? Jika premis-premis tersebut benar, mereka memang mendukung kesimpulan yang diambil. Tetapi kita tidak dapat mengatakan 100% bahwa Dika alergi kucing. Konklusi tersebut bukan konklusi yang tak terbantahkan. Memang mungkin Dika alergi kucing, namun mungkin juga Dika alergi debu yang menempel pada kucing, bisa juga Dika memang sedang Flu.
Penalaran semacam ini dinamakan penalaran Induktif. Penalaran induktif diperoleh berdasarkan beberapa kasus spesifik yang menghasilkan kesimpulan yang umum. Walaupun kadang kita menemukan kesimpulan yang bernilai benar, konklusi dari penalaran induktif tak pernah terjamin (bukan konklusi yang tak terbantahkan). Contoh lain pada penalaran induktif adalah sebagai berikut:
CONTOH :
Bilangan apa setelah barisan berikut ini 1, 8, 15, 22, 29, …. ?
PENYELESAIAN :
Catatan bahwa kita mendapatkan pola linear, pola aritmatik bahwa beda diantara dua bilangan berdekatan adalah 7. Kita mungkin akan menjawab nilai berikutnya adalah 36. Apakah kesimpulan kita terjamin? Tidak, dalam soal tidak ada keterangan bahwa barisan yang diberikan merupakan barisan aritmatik. Ambil contoh, bisa saja angka-angka tersebut adalah hari senin pada penganggalan masehi tahun 2001 bulan januari. Yang artinya angka berikutnya adalah 5 (pada bulan berikutnya). Tanpa Informasi lebih lengkap, hasil yang kita peroleh tidak mendapat jaminan dari logika kita, kita hanya menerapkan penalaran induktif, atau memberikan lebih dari satu penyelesaian yang mungkin untuk permasalahan di atas.

Tinggalkan komentar