LOVE AND THE OTHER HALF


1f349067dc0d9a99f1b86688fd79de95--funny-dresses-pain-quotes.jpg

Mitos Cinta: Satu yang Terbagi Dua oleh Priska Sabrina

Mitos mengenai cinta bahwa manusia merupakan satu pada awalnya merupakan aspek di mana cinta merupakan bagian dari pencarian akan diri –bahkan mungkin, jiwa. Mitos yang bahkan jika ditelusuri dapat dilacak sampai pada kitab suci dan dongeng keagamaan, di mana Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, dapat dikatakan sebagai landasan filosofis dari mitos tersebut.

Plato pun dalam buku Symposium yang tersohor itu, membuka mitos belahan jiwa saat diceritakan bahwa Zeus membelah manusia menjadi dua karena takut akan kekuatan yang didapatkan manusia saat manusia adalah ‘satu’; utuh.

Jatuh cinta kemudian merupakan perjalanan hidup. Perjalanan hidup yang merujuk pada buku bergambar favorit penulis yaitu “The Missing Piece” oleh Shel Silverstein, merupakan upaya mencari ‘pecahan yang hilang’ dari diri kita.

The Missing Piece oleh Shel Silverstein, bagian di mana ‘it’ mencari dan bertemu dengan ‘it’s missing piece’ (pecahannya yang hilang)

Konsekuensi dari mitos tersebut adalah manusia akan selamanya berada dalam kehilangan –dalam keterpisahan akan belahannya. Unifikasi dengan belahan jiwanya kemudian dianggap sebagai keutuhan diri. Erich Fromm menyebutnya sebagai hasrat untuk bersatu atau hasrat untuk menjadi utuh. Dengan demikian, Fromm melihat cinta sebagai suatu yang lebih dari bentuk sublimasi dari hasrat libidinal, tetapi sebaliknya, hasrat libidinal menjadi manifestasi dari kebutuhan akan cinta dan keutuhan.

Hal yang menarik kemudian adalah bahwa mitos ini merupakan mitos yang menjanjikan sebuah bentuk liberasi, kekuatan, dan pemenuhan saat cinta (dalam hal ini belahan jiwa) dapat diperoleh. Kesendirian menjadi suatu hal yang menakutkan. Jomblo adalah suatu kondisi yang hina. Jatuh cinta merupakan suatu yang memberikan warna (bahkan makna) pada perjalanan hidup (jika tidak hidup merupakan perjalanan pencarian cinta). Mitos ini menempatkan cinta sebagai finish line.

Akhir bahagia dari perjalanan hidup yang panjang. Sebuah tujuan hidup. Padahal tujuan itu sendiri, dalam hal ini cinta, merupakan suatu yang tidak (sepenuhnya) dipahami akal rasio manusia.

Hal yang kemudian penting untuk disorot adalah betapa asingnya ‘cinta’ sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mendefinisikannya. Kutipan oleh Sigmund Freud pada pembuka tulisan ini pun menjadi salah satunya. Seakan berusaha menundukkan kealienan dari cinta untuk mendapatkan kepastian akannya. Tetapi pun, cinta nampaknya tetaplah suatu yang alien. Judith Butler, seorang filsuf teori queer dari Amerika Serikat bahkan menulis esei dengan klaim bahwa cinta akan selamanya alien, tidak terpahami, dan diragukan.

Pertanyaan seperti:

Apakah dia mencintaiku?

Apakah perasaan ini cinta?

Apakah dia sudah tak lagi mencintaiku?

Mungkinkah coklat ini merupakan ungkapan cintanya? dan lain sebagainya itu akan terus kita utarakan. Terus menerus cinta kita ragukan. Bahkan saat ‘missing piece’ telah ditemukan, telah mengisi, tetapi tidak menghentikan keraguan tersebut.

Hal yang membuat seakan apakah cinta akan diperoleh pada akhir kehidupan ini tidaklah penting, yang penting adalah the journey itself.

Jika terus menerus cinta akan menghancurkan ‘kepastian’ akan cinta yang telah untuk dapat berpikir filosifis dalam dan mengenai cinta, kenapa kita harus selalu dalam proses yang dapat dikatakan menyakitkan itu? Apa pentingnya kemudian untuk kita berpikir filosofis dalam dan mengenai cinta jika toh cinta akan terus membuat kita berada dalam keraguan –dalam gelap?

Hal tersebut yang kemudian membuat cinta, sebagai apapun dia, akan selalu mengganggu –atau lebih tepatnya mengusik—pijakan akan apa yang kita pahami dan tidak mengenai dunia. Terus menerus menempatkan kita pada posisi tersesat pada jalan yang semula kita yakini kepastiannya. Hal yang uniknya, proses yang tampaknya memberikan rasa sensasi ‘hidup’ saat cinta kemudian akan selalu dicari secara aktif (bahkan dinanti secara pasif)

Dan ‘jatuh cinta’ merupakan suatu yang terus didambakan. Candu akan ke-‘hidup’-an, ketika ‘hidup’ akan terus menerus diusik dan dipastikan pada saat jatuh cinta. Mungkin di situ lah mengapa cinta selalu berusaha untuk dipahami, terus diragukan. Semata untuk dapat memberikan kepastian yang sifatnya sementara, agar dapat merasakan rasa pasti yang layaknya candu.

“Jangan takut jatuh cinta! Jangan tutup dirimu!” adalah narasi yang sering muncul. Atau edisi Hari Valentine-nya adalah

“Jangan khawatir! Kalau nanti berakhir dengan patah hati, ada coklat untuk menutupi luka di hatimu!”

Live your life filled with love!”

‘I love to you thus means: I do not take you for a direct object, nor for an indirect object by revolving around you. It is, rather, around myself that I have to revolve in order to maintain the to you thanks to the return to me. Not with my pray – you have become mine – but with the intention of respecting my nature, my history, my intentionality, while also respecting yours. Hence, I do not return to me by way of : I wonder if I am loved. That would result from an introverted intentionality, going toward the other so as to return ruminating, sadly and endlessly, over solipsistic questions in a sort of cultural cannibalism.’ p.110


Strategy Three:  Speak/Listen with body and breath:

I’ll say more about this in my next post, because Irigaray only briefly touches on this concept in I love to you.  She argues that feminine subjectivity is essentially embodied, primarily through the breath.  We we must take time to listen and acknowledge ‘space’ in the conversation because it is far from an empty pause.

‘To love to you and, in this “to,” provide space for thought, for thought of you, of me, of us, of what brings us together and distances us, of the distance that enables us to become, of the spacing necessary for coming together, of the transubstantiation of energy, of the oeuvre…  The to you comes through breath trying to make itself speech.’ p.149

In summary, to speak in love is to speak as one whole person to other whole person or persons (plural), maintaining a constant openness to both person and knowledge.  It means we resist the utilitarian pull to use others for what they can do or be for us, continually redirecting our attention away from what we know to what we don’t know and away from ourselves to the Other.  It’s in this most general application of Irigaray’s work that I am comfortable.  I think if we push the gender categories into a universal and mutually exclusive binary we lose too much.  Irigaray is striving for a loving freedom in communication, a noble goal I am very happy to endorse.

‘I am listening to you not on the basis of what I know, I feel, I already am, nor in terms of what the world and language already are, thus in a formalistic manner, so to speak.  I am listening to you rather as the revelation of a truth that has yet to manifest itself – yours and that of the world revealed through and by you.  I give you a silence in which your future – and perhaps my own, but with you and not as you and without you – may emerge and lay its foundation.  This is not a hostile or restrictive silence.  It is openness that nothing or no one occupies, or preoccupies – no language, no world, no God.

This silence is space-time offered to you with no a priori, no pre-established truth or ritual.  To you it constitutes an overture, to the other who is not and never will be mine.  It is a silence made possible by the fact that neither I  nor you are everything, that each of us is limited, marked by the negative, non-hierarchically different.  A silence that is the primary gesture of I love to you.  Without it, the “to,” such as I understand it, is impossible.’  p.117

Relasi dalam pengertian “satu” ialah relasi yang mengedepankan Oneness, dengan hak prerogatif, dominasi dan solipsisme dari Laki-laki. Bagi laki-laki, the other (yaitu perempuan) ialah mirror (cermin) yang pasif. Perempuan hanya meniru (doubling and miming). Perempuan ditujukkan untuk mereproduksi kesamaan (sameness), selama berabad-abad menjadi ‘yang diliyankan’ (the other). Sedang, relasi dalam pengertian “dua” merupakan relasi yang memiliki sifat indifférente. Irigaray memainkan arti kata indifférente (Prancis). Pertama, indifférente berarti sesuatu yang “cacat/memiliki kelemahan”, maskulin melihat perbedaan perempuan sebagai yang ironis. Kedua, indifférente berarti “nondifferent”, tidak berbeda satu sama lain. Permainan bahasa yang dilakukan Irigaray sebenarnya  ingin mengatakan bahwa relasi perempuan dan laki-laki selama ini didominasi oleh satu model saja yaitu sudut pandang laki-laki.

‘Kamu (Laki-laki)/Aku (perempuan) kemudian menjadi 2, yang dibedakan dari sisi luar (outside) dan dalam (inside). Dari sisi luar, kamu (laki-laki) mencoba untuk menyesuaikan dengan aturan, mengasingkan diri sendiri, melebur dengan apapun yang dihadapi, meniru apa pun yang didekatmu. Menjauh dari diri sendiri dan aku (perempuan). Mengasumsikan satu model yang dominan, yang menjadi penguasa dari yang lain. Dari sisi dalam, ada inner self yang ingin dipertahankan. Silent, white (kiasan untuk lambang kesucian) dan virginal  ialah tuntutan laki-laki terhadap perempuan. Ketika mengikuti permainan ini kita (perempuan dan laki-laki) akan teralienasi dari diri kita sendiri.

Bagaimana kami (perempuan) dapat bicara sehingga bisa keluar dari kungkungan, pola, pembedaan dan oposisi: perawan/tidak perawan, murni/tidak murni, innocent/knowing? Bagaimana bisa membebasakan diri dari kategori-kategori mereka (laki-laki)?

 

Tinggalkan komentar