CUMBU SIGIL


Iya. Saya memang punya beberapa kawan orang kaya. Atau setidaknya, yang kebetulan terlahir di keluarga kaya dan hidup relatif mewah. Salah satunya adalah kawan baik saya semenjak SMA. Tinggalnya di Menteng, di Jalan Lembang. Cucu mantan menteri perhubungan. Punya anjing tiga, warnanya hitam dan cokelat kehitaman. Tak seperti majikannya, tiga-tiganya miskin semua, kurus dan masih saya curigai rabies. Yang satu dia namai Tolstoy, yang satu lagi dia namai Hemingway, dan yang cokelat kehitaman dia namai Fitzgerald. Ketika saya tanya mengapa dia menamakan anjing-anjingnya seperti itu, dia bilang karena itu adalah nama dari penulis-penulis yang tak disukainya. Si idiot itu. Kalau saya punya anjing, saya kasih nama yang mudah dipanggil. Meski pada akhirnya saya harus setuju dengannya.

Rimbaud dengan Verlaine.

Saya membaca Le Fleurs du Mal karya Baudelaire pertama kali di awal semester kuliah kira-kira tahun 1981 dalam bahasa inggris, terjemahan David Folley. Bentuk puitik dan ekspresinya yang berani menstimulasi saya untuk mulai menulis puisi. Itu pertama kalinya saya membaca puisi yang benar-benar “modern”. Tidak, saya tidak membeli bukunya. Orang miskin seperti saya tidak mampu beli buku impor. Saya meminjamnya tapi tak saya kembalikan. Itulah untungnya punya kawan orang kaya yang mudah dibodoh-bodohi. Setiap kawan saya ke luar negeri saya hasut supaya dia beli buku. Dia sih mau-mau saja karena katanya semakin penuh rak buku semakin mudah dapat perempuan. Naasnya, dia tidak tahu kalau perempuan saat itu lebih suka disko ajojing di Tanamur ketimbang baca Baudelaire.

Nonok dan komplotannya pernah mencuri empat karung buku dari toko eceran untuk dijual kembali di Kwitang. Karena dia tahu saya suka baca, dia diam-diam memberi saya satu dus buku. Bayangkan, satu dus. Yang sampulnya menarik saya pilihi, sisanya saya kembalikan. Dia tersinggung, karena orang miskin biasanya tidak pilih-pilih. Saya bilang, saya memang orang miskin, tapi saya lebih punya selera dibanding dia. Saya kena gaplok. Saya membaca Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa, Joseph Heller, Yasunari Kawabata, Franz Kafka, sampai Karel Capek semenjak SMA.

Saya jadi ketua organisasi protes mahasiswa di Fakultas Sastra UI dulu. Saya sempat mengundang Thukul untuk baca puisi di aksi yang saya inisiasi. Saya punya pemahaman terhadap sejarah taktik guerilla dan satu-satunya yang pernah membaca Kapital dan Massa Actie, sedangkan Bonang jadi koordinator aksi karena dia lebih pandai berkelahi. Dulu saya Marxis-Leninis tulen. Di kepala saya cuma ada revolusi, atau mati.

Gaya bicaranya seperti sedang merayu saya. Tapi saya sadar dia cuma meniru Cortazar. Saya bilang saya pengagum Steely Dan dan Al Stewart.

Saya pernah melihat trik semacam ini dalam karya Claudio Magris, tapi Sebald lebih berkesan di mata saya. Prosa-prosanya dekat dengan gaya prosa Nietzsche

Tinggalkan komentar