POINT-POINT AJARAN NIETZSCHE


SABDA – SABDA NIETZSCHE


The Will To Power

Formulasi “ The Will to Power “ telah dikenal dengan baik oleh para sarjana yang mengkaji pemikiran Nietzsche dan oleh kalangan masyarakat luas. Nietzshe mengembangkan konsep ini dari dua sumber utama: Schopenhauer dan kehidupan Yunani kuno. Schopenhauer mengadopsi konsep ini dari gagasan timur dan berkesimpulan bahwa bahwa alam semesta dikendalikan oleh suatu kehendak buta. Nietzsche mengenali adanya kekuatan di dalam gagasan ini, dan menerapkannya dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan-gagasan Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yg menjadi pendorong di dalam peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan untuk mencari sesuatu yg lebih berguna atau yg memberikan manfaat.

Semua konsep dan masalah yang dibicarakan selalu bermuara pada kehendak untuk berkuasa, bahkan agama sekalipun. Walter Kaufman menegaskan :

Kehendak untuk berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporishma- nya, ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengugkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif dasar dan menegaskan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup (Kaufman, 1967: 510)

Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu Kehendak untuk Berkuasa. Semua tindakan kita berasal dari kehendak ini. Namun beberapa ilmuwan yang meneliti pemikiran Nietzsche membantah bahwa formulasi ini timbul dari ajaran scopenhaur yang mempengaruhinya. Sebagian berpendapat bahwa ide ini merupakan batu pertama (cornerstone) yang diletakkan olehnya. Sebagian lagi telah menunjukan kekurangan published mentions formulasi ini dan menyatakan bahwa ide ini tidak terlalu sentral bagi Nietzsche.[17] Membincang tentang Will to Power, tentunya tidak bisa lepas dari suatu ajarannya yang lain, Etternal Recurrence.


Etternal Recurrence

Dalam salah satu magnum opus- nya, Also sprach Zarathustra, Nietzsche mengkontraskan salah plot ceritanya kepada formulasi etternal recurrence. Tersebutlah dalam Zarathustra :

Untuk menebus mereka yang tinggal di masa lalu dan untuk menciptakan mereka kembali kedalam ‘ dengan demikian aku mengkhendaki ini ‘  – yang aku sendiri harus memanggil penebusan – semua itu adalah fragmen, teka-teki, kecelakaan menyeramkan – sehingga proses kreasi akan berkata tentang itu, tapi dengan demikian aku mengkhendaki ini, dengan demikian aku menghendaki ini. (Zarathustra,  pp. 251-3). [18]

Menurut Nietzsche, kita seharusnya bertindak seakan-akan hidup yang kita jalani ini akan terus berlanjut dalam satu pengulangan yang abadi (Eternal Recurrence). Setiap momen yang telah kita jalani dalam kehidupan ini akan dijalani berulang-ulang untuk selama-lamanya. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa dipercaya. Beranjak dari formulasi semacam ini, Nietzsche menasihati umat manusia untuk menjalani kehidupan secara enjoy dan optimal.  

Formulasi etternal recurrence ini mendominasi plot Zarathustra. Terkadang, ide ini membawanya kepada beberapa model visi dan mimpi. Di sisi lain, ia nampaknya enggan untuk mengkategorisasi  dan menerima implikasi idenya ini. Terutama, ketika saat-saat berputus asa, ia merasa ngeri dan jijik jika hal tersebut berlaku juga bagi orang-orang jelata, termasuk orang-orang rendahan dari seluruh ras manusia. Elang dan ular yang merupakan rekannya mendorong zarathustra untuk berhenti berbicara dan menyanyi sebagai gantinya. Sikap Nietzsche terhadap Etternal recurrance yang terjadi pada rakyat jelata menunjukan elitisme Nietzsche. Secara konsisten, Nietzsche dan Zarathustra berpendapat bahwa semua manusia tidaklah sama. [19]


 

Tuhan Telah Mati : Revolusi Nilai-Nilai Baru

Pemikiran bahwa Tuhan telah mati merupakan  “ Ocehan “ provokatif Nietzsche dalam karyanya, The Gay Science ( Die fröhliche Wissenschaf ) yang kemudian menjadi salah satu karateristik asasi epistemologi nihilisme-nya. Nietzsche mulai dengan melancarkan serangan terhadap kelekatan kita pada perilaku tentang baik dan buruk, yang secara umum diambil dari tradisi Yunani kuno dan Yahudi-Kristiani. Hal ini berarti landasan moral kita berasal dari masyarakat yang berbeda dengan yang ada sekarang, dan berasal dari agama-agama yang sudah tidak dipercayai banyak orang. [20]

Beranjak dari “ kepura-puraan “ seperti itu, Nietzsche mengkhendaki revolusi dan rekonstruks besar-besaran terhadap nilai yang ada. Revolusi ini sampai pada klimaks-nya ketika ia si orang gila (madman)  berteriak bahwa Tuhan telah mati dan kita semua sebagai pembunuhnya kepada orang-orang – yang dianggapnya –  atheis yang sudah tidak mempercayai Tuhan apapun.

Sebagaimana dijelaskan di atas, hal ini bukan berarti Nietzsche sama sekali mengingkari keberadaan Tuhan, “ ocehan “ ini hanya sebatas “letusan “ emosional dari revolusi nilai baru yang diinginkan Nietzsche. Ketika Tuhan telah mati, lantas bagaimana kita menyusun ulang kekosongan nilai kita ?, di sinilah muncul sang pahlawan yang dinanti-nanti, Übermensch.


 

Übermensch

Kata Übermensch (dalam bahasa Ingrris:  Overman, Overhuman, Above-Human, Superman) yang berarti manusia super, merupakan salah satu pemikiran filsafat-imajinatif Nietzshe yang paling signifikan. Nietzsche memposisikan Übermensch sebagai tujuan kemanusiaan yang tertuang dalam Zarathustra.  Übermensch, manusia imajiner ciptaan Nietzsche yang akan menyelamatkan kemanusiaan dari segala krisisnya ini sering disebut berdampingan dengan The Death of God (kematian tuhan). Gagasan imajiner ini  berkaitan erat dengan salah satu landasan konstruksi berfikirnya, the will to power, yang menjadikannya sebagai free-thinker. Gagasan tentang Übermensch ini banyak diungkapkan dalam Zarathustra, dalam hal ini bahkan Zarathustra merupakan konfigurasi Übermensch, seperti dikatakan :

Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu.

Übermensch adalah makna dunia ini.

Biarkanlah kehendakmu berseru.

Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.[21]

Übermensch diharapkan akan muncul ketika nilai tidak lagi mengambil peran penting bagi kehidupan manusia, karena manusia telah berhasil membunuh Tuhan. Diperlukan sebuah keniscayaan yang akan memberi makna tertinggi untuk mengisi kekosongan ini. Pengisian nilai atas kekosongan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berhasil melepaskan diri dari cengkraman Tuhan, dialah Übermensch. Ia adalah suatu prototype dari manusia sesungguhnya, yaitu manusia yang berani mengafirmasi dirinya sebagai pemilik tunggal kehendak berkuasa. Selain itu Übermensch juga dimengerti sebagai suatu entitas yang melekat dalam diri manusia yang mau mengoptimalkan potensi vitalnya dalam memaknai dunia yang telah kehilangan berbagai macam nilai.

Übermensch tidak dilahirkan melalui alam, namun ia lahir dari seleksi antar manusia. Proses seleksi tersebut harus diimbangi dengan kecerdasan atau bahkan kelicikan / kebengisan sebagai upaya untuk menciptakan daya estetis dari Dionysian. Nietzsche mencontohkan Napoleon sebagai prototype dari Übermensch. Karakter Napoleon yang bersebrangan dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan juga perangainya yag dianggap buruk oleh mayoritas orang, justru dipuji oleh Nietzsche.


Sisi Aksiologis

Keseluruhan konsep filsafat Nietzsche merupakan “ pedang bermata dua “. Seluruh pemikiran filsafatnya yang terkesan terlalu fulgar,  kurang ajar, dan melewati batas zaman menjadikan pemikiran filsafatnya sebagai sebuah filsafat zona eksklusif. Pemahaman yang parsial terhadap pemikirannya akan berakibat fatal. Sebut saja pernyataaan “ Tuhan telah mati “ yang jika dipahami secara parsial dan tekstual tanpa meneliti lebih lanjut motif, konteks, dan hal-hal lain yang berkaitan erat dengan pernyataan tersebut, tentu akan menimbulkan mis-interpretasi terhadap gagasan Nietzsche. Terlebih mayoritas karya-karyanya bersifat aforisme, sehingga perlu penelaahan yang mendalam untuk memaknai gagasan Nietzsche yang sebenarnya.

Jelasnya, semua pernyataan Nietzsche dengan kapasitasnya sebagai seorang filosof papan atas sekaligus merangkap sebagai filolog, seniman, dan sastrawan yang mungkin berbeda “ maqom “ dengan kita, bukan merupakan pernyataan yang transparan. Diperlukan pemahaman yang integral untuk dapat benar-benar memahami gagasan Nietzsche. Betapapun Nietzsche menyajikan filsafatnya dengan kasar, provokatif, dan kurang ajar, terdapat banyak nilai  aksiologis dari gagasan-gagasan gilanya yang revolusioner.


 

Sisi Eksistensial Übermensch :

Dua formulasi komplementer dari epistemologi Nietzsche, nihilisme dan vitalisme, secara tersirat memiliki banyak nilai-nilai eksistensial. Beranjak dari “ tamparan “ realitas di sekitarnya, Nietzsche mencoba melakukan sesuatu yang jarang dilakukan banyak orang pada saat itu, “ berani membebaskan kebenaran yang terpasung “.   Dengan keberanian mendobrak weltanschaung dan mainstream yang ada pada saat itu, Nietzsche menganggap setiap komunitas yang ia jumpai telah “ berkhianat “ kepada nilai-nilai konvensional yang disepakati bersama, termasuk agama. Dunia telah memasuki masa yang sangat krusial, karena pada saat itu nilai-nilai tidak lagi memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia. Dengan semangat “ vitalisme “-nya yang membara, ia berusaha untuk mencari solusi alternatif bagi masalah-masalah krusial tersebut, hingga akhirnya ia sampai kepada “ nihilisme “.

Nihilisme Nietzsche bukanlah merupakan pengkosongan atau penihilan nilai  semata tanpa disertai adanya usaha untuk mencari solusi rekonstruktif. Jika dipahami demikian, maka nihilisme Nietzsche tidak ada bedanya dengan “ pembantaian “ nilai-nilai secara membabi buta. Di sini kami melihat justru Nietzsche menjadikan nihilisme sebagai motif dan titik tolak vitalnya untuk mencapai rekonstruksi nilai-nilai yang baru secara utuh, mulai dari nol (from zero). Sosok Übermensch yang diciptakan Nietzsche sebagai penyelamat krisis ini, merupakan klimaks vitalisme Nietzsche dalam mengatasi “alienasi “ nilai-nilai dalam masyarakat manusia yang berawal dari nihilisme tadi. Di sinilah kita bisa melihat sisi eksistensial Übermensch yang muncul dari nihilisme Nietzsche. 


Perspektivisme : Menyapu Bersih Romantisasi     

Salah satu prinsip asasi yang melandasi filsafat Nietzsche ialah pandangan perspektivisme. Erat kaitannya dengan nihilisme-vitalisme sebagaimana tersebut di atas, perspektivisme Nietzsche meniscayakan reletivisme dan kontekstualisasi. Melalui perspektivisme-nya ini, Nietzsche menelaah ulang konsep moral masyarakat di zamannya yang ia anggap sebagai romantisasi belaka dari konsep moral Yunani dan Yahudi-Kristiani.

Secara konklusif, konstruksi pemikiran Nietzsche berorientasi pada kontekstualisasi. Semangat kontekstualisasi sangat diperlukan dalam berbagai aspek dalam hidup kita, termasuk wilayah ajaran agama. Sebagai kita ketahui, semua agama yang ada sekarang lahir pada masa pra-modern. Ketika agama tersebut bisa bertahan sampai saat ini, maka kontekstualisai adalah sebuah keniscayaan. Mentalitas klasik sudah tidak relevan lagi dengan konteks sekarang. Bagaimanapun, perspektif dahulu dan perspektif masa kini tidak bisa disamakan, kecuali beberapa hal yang bersifat – meminjam istilah agama Islam – tsawabit.


 

Eternal Recurrence : Katakan “ Ya” Terhadap Hidup

Nilai-nilai pokok yang harus kita rengkuh kata Nietzsche, adalah nilai yang menegaskan kehidupan. Masing-masing dari kita harus menjadi orang yang hidup sepenuhnya, yang menghayati kehidupan semaksimal mungkin. Salah satu kata kesayangan Nietzsche adalah “ berani “, dan barang kali perintah moral pertamanya ialah “ beranilah menjadi dirimu sendiri “. Inilah cara makhluk hidup bersikap spontan terhadap alam.

Nietzsche menilai semua nilai dengan tolok ukur sejauh mana nilai-nilai itu menegaskan kehidupan. “ Baik “ adalah segala yang menegaskan kehidupan atau yang membantu menegaskan kehidupan. Bahkan “ Benar “ ialah segala sesuatu yang membela kehidupan, bukan yang menentangnya. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa orang yang paling berjaya , paling berhasil pun akhirnya akan berakhir dengan kematian. Lalu mereka lenyap dan dilupakan. Segalanya berujung pada ketiadaan kekal. Apa arti semua itu ?

Nietzsche memberikan jawaban berlapis dua. Pertama, resepnya berlaku untuk suatu kehidupan supaya bisa hidup dengan sepenuh-penuhnya sesuai dengan ketentuan hidup itu sendiri, sehigga hidup bisa lebih berharga demi hidup itu sendiri. Kedua, segala sesuatu tidak berakhir pada ketiadaan kekal, melainkan akan kembali secara terus menerus. Maka hal yang telah terjadi akan terjadi lagi secara berulang-ulang (eternal recurrence). Untuk menjalani hidup sepenuhnya, kita harus hidup sebagaimana yang kita inginkan, yakni hidup abadi. [22]


DAFTAR PUSTAKA

[17] The Cambridge Companions to Nietzsche, hlm. 40

[18] The Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 40

[19] Ibid, hlm 41

[20] The Story of Philosophy, hlm. 172

[21] The Cambridge Companion to Nietzsche, hlm. 41

[22] The Story of Philosophy, hlm. 177

Tinggalkan komentar