POPULISME


Dalam tradisi ilmu politik mainstream penilaian negatif terhadap fenomena politik populisme tersebut dapat dimaklumi, karena korpus tradisi politik liberal kerapkali menempatkan artikulasi politik populisme sebagai sebuah artikulasi politik massa terbelakang, anti-kemajuan dan cenderung menolak elite politik dan institusi politik demokratis. Populisme seperti ini dikemukakan sejak lama oleh Isaiah Berlin dkk (1968; 173-178) bahwa terdapat enam karakter yang merangkum seluruh varian dari populisme yaitu:
  1. Pertama, populisme memiliki komitmen untuk membangun komunitas yang terintegrasi dan masyarakat yang solid dan koheren.
  2. Kedua, populisme memiliki karakter apolitis dalam pengertian tidak tertarik dan cenderung membenci institusi politik karena kaum populis cenderung mempercayai masyarakat terlebih dahulu sebelum institusi negara.
  3. Ketiga, tendensi populisme yang cenderung ingin mengembalikan masyarakat pada kondisi alamiah dan spiritual sebelum masyarakat terdistorsi oleh efek kemodernan.
  4. Keempat, kecenderungan populisme yang ingin kembali pada masa lalu yang adiluhung.
  5. Kelima, kaum populis selalu memposisikan diri sebagai kelompok mayoritas dan
  6. Keenam, populisme seringkali muncul dalam masyarakat yang tengah menghadapi transisi menuju era modernisasi.

Literatur klasik yang berpijak pada Isaiah Berlin dkk (1968) dan Peter Wiles inilah yang menjadi sumber dari akademisi kontemporer yang dikutip oleh Burhanuddin Muhtadi seperti Meny dan Surel (2002) yang secara sinis menyebut populisme sebagai patologi atau korupsi demokrasi karena kaum populis cenderung memanfaatkan demi kepentingan politik elektoral, propaganda dan kharisma personal untuk menarik konstituen ketimbang tampil sebagai edukator.

Dalam analisis politik kontemporer pembacaan-pembacaan sinis atas politik  populisme ini selain dikemukakan untuk membaca artikulasi politik gerakan fasis di Eropa juga kerapkali digunakan untuk mengkritik artikulasi politik dari tampilnya kekuatan-kekuatan neo-sosialisme yang tengah mekar berkembang di Negara-negara Amerika Latin, Salah satunya tampak dari pembacaan sinis atas politik populisme Chavez oleh Michael Caughan (2004; 158, 160).

Menurut Caughan bahwa karakter populisme Chavez dibangun melalui eksploitasi terhadap harapan mesianistik masyarakat kelas bawah, dan ia memenangkan pertarungan politik elektoral melalui janji-janji magis untuk mengentaskan kemiskinan dikalangan masyarakat miskin Venezuela.

Chavez menempatkan dirinya sebagai figur mesianistik dengan orasi-orasi demagogis dan tradisi popular akar rumput yang membius kesadaran rakyat Venezuela.


Membaca Populisme secara Induktif

Kelemahan dari pembacaan sinis atas populisme yang berpijak pada literature-literatur klasik terhadap fenomena politik populisme adalah, perspektif seperti ini melupakan kontekstualitas struktur social dan ekonomi-politik serta historisitas dan pluralitas dari artikulasi politik populisme, terutama dalam era yang lebih kontemporer.

Dalam konteks mencari pemahaman baru atas politik populisme, maka perumusan teoritik atas fenomena ini tidak dapat hanya berpijak pada pembacaan secara deduktif berdasarkan atas teks-teks untuk memberikan penilaian atas artikulasi politik populisme, namun pemahaman akan fenomena populisme di era kontemporer semestinya berpijak pada pandangan induktif dengan melihat realitas dan kontekstualitas dari artikulasi politik populisme untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jernih akan fenomena politik tersebut.

Pertama, beberapa artikulasi politik populisme Amerika Latin kontemporer memang berangkat dari pembelahan politik radikal antara elite dan massa, serta kritik terhadap proses politik demokrasi elektoral yang tengah berlangsung.

Kedua, pemahaman politik populisme secara homogen sebagai sebuah artikulasi politik yang menentang institusi demokrasi hanya karena artikulasi politik populis menentang praktik-praktik politik demokrasi juga problematis, mengingat bahwa korpus teoritik tradisi demokrasi memberikan ruang bagi urgensitas pendalaman dan perluasan demokrasi melampaui model demokrasi representative terbatas.

Seperti diutarakan oleh Barry Cannon (2009; 2-3) bahwa David Held (2006) dalam Models of Democracy bahwa agar demokrasi dapat berkembang dan mendapatkan legitimasinya dihadapan rakyat, maka proses demokrasi harus diperluas dalam dua wilayah yang saling bergantung satu sama lain yaitu proses reformasi di level negara dan restrukturisasi diwilayah civil society.

Cannon kemudian menguraikan bahwa apa yang tengah berlangsung di Amerika Latin seperti yang ditampilkan oleh gerakan populisme Chavismo di Venezuela melayani kebutuhan akan reformasi Negara dan restrukturisasi masyarakat sipil melalui perlawanan dengan pakta oligarkhi tradisional yang disebut sebagai punto fujismo baik melalui perubahan konstitusi menjadi lebih demokratik, penyediaan fasilitas public, perluasan akses pendidikan dan demokratisasi diwilayah ekonomi maupun politik.

Ketiga, klaim bahwa politik populisme adalah politik yang mundur kebelakang dan menolak kemajuan dan modernitas tidak dapat menjangkau secara utuh segenap artikulasi politik populisme.

Adalah benar bahwa artikulasi politik populis seperti di Amerika Latin berangkat dari tradisi-tradisi kultural masyarakat seperti Chavez yang sering mengidentifikasi dirinya dengan visi transformatif pembebasan dari ajaran Yesus Kristus dan menarik inspirasi politiknya dari figur pemersatu Amerika Latin abd ke-19 Simon Bolivar dan pejuang sosialis Ernesto ‘Che’ Guevara yang telah menjadi legenda kolektif rakyat miskin di wilayah Amerika Latin.

Namun demikian identifikasi diri terhadap tradisi-tradisi populi (rakyat) itu tidak serta merta menjadikan artikulasi politik populisme mencerminkan pembelaan terhadap keterbelakangan melawan modernitas, artikulasi gerakan lain seperti wacana politik kaum liberal Muslim Indonesia berbasis kaum Nahdliyin pun juga berbasis tradisi untuk mengartikulasikan pandangannya tentang makna kemajuan.

Demikian pula kaum populis di Amerika Latin mengidentifikasi dengan tradisi-tradisi kerakyatan untuk mengkonsolidasikan gagasan-gagasan kemajuan yang merkea yakini maupun transformasi structural politik demokrasi dan tatanan ekonomi yang mereka perjuangkan (Edgardo Lander 2008; 76-77; DL Raby 2006; 236).

Keempat, salah satu klaim yang kerapkali digunakan untuk menghakimi secara sinis politik populisme adalah ketergantungan massa pengikut terhadap kharisma maupun arahan dari tokoh pemimpin.  Gerakan populisme (khususnya di Amerika Latin) bukan hanya tentang arah kepemimpinan dari pemimpin, namun juga dukungan rakyat dan gerakan akar rumput progresif dari buruh, petani, lingkungan dan perempuan yang menopangnya. (DL Raby 2006; 227-256).


Teori Politik Populisme

Berangkat dari realitas-realitas social konkret yang berbeda dengan penggambaran literature mainstream politik seperti diatas, maka secara teoritik politik populisme harus dirumuskan keluar dari penggambaran-penggambaran miring tentang politik populisme tanpa harus mengabaikan ada pula politik populisme yang bertendensi fasistik seperti diartikulasikan mulai dari Hitler sampai artikulasi politik kanan di Prancis yang dipimpin oleh Jean Marie Le Pen. 

Salah satu pandangan  teoritik tentang populisme yang berbeda dengan perspektif-perspektif konotatif terkait istilah ini yang digunakan dalam tulisan ini adalah pandangan dikemukakan oleh teoritisi asal Argentina yaitu Ernesto Laclau (1977; 143-198). 

Laclau memahami populisme sebagai gerakan politik multi-kelas dan supra-kelas yang hadir dalam momen politik rapuhnya hegemonik kekuatan politik dominan yang memberi munculnya struktur kesempatan politik baru bagi tampilnya gerakan politik akar rumput yang dipimpin oleh pemimpin kharismatik untuk mengartikulasikan wacana radikal anti-kemapanan.

Menurut Laclau populisme sendiri pada dasarnya harus difahami dalam dua konteks yaitu secara structural terkait dengan kondisi momen-momen krisis structural ekonomi dan krisis institusi politik yang mendorong tampilnya politik Populisme dan populisme sebagai sebuah diskursus yang menghubungkan setiap elemen-elemen dari gerakan social dan politik yang terlibat didalamnya.

Sebagai sebuah diskursus terbuka,  ekspresi gerakan politik populisme bisa terartikulasikan dalam ekspresi politik kanan, tengah maupun kiri tergantung pada perimbangan formasi kekuatan sosial dalam arena politik disuatu negara dalam kondisi spesifik yang memunculkannya.

Populisme sendiri bukanlah sebuah ideologi politik yang bisa didefinisikan secara monolitik, namun sebuah teknik politik yang dapat muncul dalam berbagai fenomena politik yang berbeda.

Populisme dapat termanifes dalam bentuk artikulasi fasisme Mussolini di Italia, Nazi di Jerman, dan saat ini oleh kekuatan politik Fascis Jean Marie Le Pen di Prancis maupun gerakan politik populisme progresif di Amerika Latin kontemporer. Yang mempersatukan populisme dalam segenap ragam ekspresi dan ideologi politiknya sebagai sebuah teknik politik adalah mereka semua menggunakan model mobilisasi politik yang massif, menggunakan tradisi populis yang tertanam di akar rumput dan digerakkan oleh kepemimpinan figur kharismatik yang memiliki kemampuan komunikasi politik yang handal, dan gerakan tersebut seringkali hadir ketika kekuatan hegemonik kelas dominan sedang runtuh (Ernesto Laclau 1977, 147-148). 

Yang membedakan karakter ideologis dari proyek politik populisme adalah inkorporasi gugatan popular-demokratik (ekspresi politik demokratik akar rumput) dalam keseluruhan bangunan politik ideologis yang dikontrol oleh gerakan massa yang dipimpin oleh kekuatan borjuasi diluar formasi dominan oligarkhis dalam rezime politik yang tengah dilawan. Sebuah gerakan politik populis menjadi gerakan yang berkarakter reaktif dan bertendensi fascistik saat proses inkorporasi tuntutan-tuntutan popular-demokratik dari bawah dibelokkan dan berpisah dari artikulasi kepentingan rakyat yang tersisihkan maupun agenda-aganda xenophobic dan rasis sehingga dikunci potensinya sebagai sebuah gerakan perlawanan liberatif-demokratik (Ernesto Laclau 1977; 174).


 

Tinggalkan komentar