Jürgen Habermas: Public Sphere (Ruang Publik) dan Media Massa


Konsep public sphere pada awalnya bermula dari sebuah esai Jürgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere.


Konsep Public Sphere (Ruang Publik)

Bagi Habermas (1989) (dalam Barker, 2004: 380), ruang publik adalah satu wilayah yang muncul pada ruang spesifik dalam “masyarakat borjuis”. Ini adalah ruang yang memperantarai masyarakat sipil dengan Negara, di mana publik mengorganisasi dirinya sendiri dan di mana “opini publik” dibangun. Di dalam ruang ini individu mampu mengembangkan dirinya sendiri dan terlibat dalam debat tentang arah dan tujuan masyarakat.

Jürgen Habermas mendefinisikan public sphere yaitu

A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens…. deal with matters of general interest without being subject to coercion…. (to) express and publicize their views. (Habermas, 1997: 105 dalam Alan McKee, 2005: 4).

Konsep public sphere dari Habermas mengutamakan dialogical conception (konsepsi dialogis) dengan asumsi bahwa individu-individu datang bersama-sama ke lokasi yang sama dan terjadinya dialog satu sama lain, sebagai peserta yang sama dalam percakapan face-to-face (Oliver Boyd-Barret, 1995: 257).

Undang-undang dasar tahun 1971 yang seluruhnya diadaptasi dari Declaration des Droits de l`Homme et du Citoyen tanggal 26 Agustus 1789 melengkapi rumusan ide tentang “ruang publik” di pasal 11: “Mengomunikasikan ide dan opini dengan bebas adalah hak paling hakiki bagi manusia. Maka oleh sebab itu, setiap orang boleh berbicara, menulis dan mencetak dengan bebas, asalkan bertanggungjawab bagi kesalahpenggunaan kebebasan ini dalam kasus-kasus tertentu seperti yang ditetapkan oleh hukum.” Undang-undang dasar tahun 1793 tegas-tegas mencantumkan kebebasan berkumpul demi melindungi kebebasan berekspresi ini: “Hak untuk mengomunikasikan ide dan opini, entah melalui pers atau dengan cara lain, hak untuk berkumpul dengan damai….tidak dapat disanggah lagi.”

Habermas membedakan tiga jenis öffentlichkeit (public sphere):

  1. politische öffentlichkeit: artinya “ruang publik politik atau politis” (atau kadang-kadang diterjemahkan menjadi “ruang publik di wilayah politik/politis”)
  2. literarische öffentlichkeit: diterjemahkan sebagai “ruang publik sastra/literer” (atau “ruang publik di dunia sastra/tulis-menulis”), dan
  3. reprasentative öffentlichkeit:”perepresentasian/perwakilan publik” (yakni pertunjukan kehormatan di depan khalayak yang menonton) (Habermas, 1989: xv)

Keberhasilan public sphere tergantung pada:

  1. Luasnya akses (se-universal mungkin)
  2. Tingkat otonomi (warga Negara harus bebas dari kekerasan/pemaksaan)
  3. Penolakan hierarki (sehingga setiap individu merasa berada pada kedudukan yang sama)
  4. Aturan hukum (terutama sekali subordinasi negara)
  5. Kualitas partisipasi (komitmen umum untuk cara-cara yang logis) (Rutherford, 2000: 18 dalam http: www.mala.bc.ca).

Didalam public sphere akan terbentuk sebuah public opinion, dimana biasanya public opinion ini mempengaruhi kebijakan dari negara. Public opinion merujuk pada kritik atau kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Opini personal dari individu-individu akan menjadi opini publik melalui partisipasi dalam debat publik yang bebas dan adil serta terbuka bagi semua.

Sekitar pertengahan abad ke 18 ruang public diwakili oleh raja atau bangsawan, dikenal sebagai representative publicity. Reprentasi Publicity merupakan representasi dari kegiatan publisitas raja dan bangsawan, dimana pada masa itu kedudukan mereka adalah sebagai public person sedangkan kelompok masyarakat lainnya hanyalah sebagai penonton. Pada masa ini ruang public dan ruang private tidak dibedakan.

Negara mempunyai peran dan otoritas yang besar sehingga kaum borjuis yang sering bertentangan dengan negara menjadikan salon dan coffee house sebagai tempat mereka untuk melakukan rational critical debate.

Menurut Habermas sebagaimana dikutip Oliver Boyd-Barret (1995), tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah struktur ideal. Apa yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi. Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat, terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi, dibutuhkan untuk menjamin tercapainya keadaan ini.

Orang mendukung ruang publik demokratis karena orang lebih mempercayainya sebagai kebaikan ketimbang sebagai kebenaran. Prinsip yang dipandang baik oleh tradisi yang demokratis adalah nilai keadilan, keragaman, kebebasan, dan solidaritas. Konsep keadilan dan keragaman berarti ada kebutuhan bagi pluralisme budaya dan representasi bagi begitu banyak opini publik, praktik budaya dan berbagai kondisi geografis dan kondisi sosial. Kebebasan dan solidaritas berarti adanya bentuk berbagi dan kerja sama yang tulus dan tidak dipaksakan, artinya itu semua lebih bermakna sebagai kebebasan suportif dan kebersamaan ketimbang sebagai pengendalian.


Asal Usul Lahirnya Ruang Publik Borjuis

Menurut Habemas, sejarah ruang publik bermula dari lahirnya kapitalisme-uang dan kapitalisme-niaga (early finace and trade capitalism). Sejak abad ke-13, tatanan sosial baru yang berbasis pada kapitalisme-uang dan kapitalisme-niaga menyebar dari negara kota-negara kota di Italia Utara ke seluruh Eropa dan melahirkan sentra-sentra perdagangan yang menghasilkan barang-barang pokok semisal Bruges, Luttich, Brussels, dan Ghent, dan lain-lain. Perdagangan sistem jarak jauh yang mereka lakukan juga telah memunculkan pekan raya-pekan raya niaga raksasa (great trade fairs) di persimpangan-persimpangan jalan antarkota-kota besar.

Penemuan peradaban-peradaban baru melalui ekspedisi pelayaran niaga dan penaklukan juga telah memperluas jaringan perdagangan bangsa-bangsa di Eropa. Luasnya jaringan perdagangan ini membuat kebutuhan akan informasi yang cepat dengan jangkauan yang lebih luas menjadi penting. Sejak abad ke-14, surat menyurat tradisional mulai diorganisasikan menjadi suatu sistem korespondensi yang berbasis gilda yang lebih profesional. Pada waktu itu, kota-kota perdagangan yang besar lantas menjadi pusat-pusat bagi lalu lintas berita sekaligus.

Arus informasi yang semakin sarat tersebut akhirnya memunculkan media-media cetak yang khusus untuk menyebarluaskannya ke ranah publik. Tercatat mulai pertengahan abad ke-17, media-media massa, yang saat itu disebut jurnal, terbit dalam bentuk mingguan, bahkan harian, meski kontrol otoritas negara masih cukup kuat. Jurnal-jurnal seperti Journal des Savants (1665), Acta Eruditorum (1682), dan Monatsgesprache (1688), telah dilengkapi dengan tulisan-tulisan berkala, memuat bukan hanya informasi-informasi penting, namun juga instruksi pedagogis, kritik, dan kajian-kajian sosial, sastra, dan politik.

Munculnya jurnal-jurnal mingguan dan harian pada gilirannya juga menciptakan publik pembaca yang semakin luas. Pada abad ke-17 dan 18, kedai-kedai kopi di Inggris, salon di Perancis, dan tischgessellschaften (himpunan-masyarakat meja) di Jerman merupakan tempat-tempat favorit untuk mendiskusikan berbagai informasi yang tengah berkembang. Bibit-bibit awal ruang publik modern mulai menunjukkan taringnya dengan runtuhnya kekuasaan Raja Louis XVI oleh Revolusi Perancis pada paruh kedua abad ke-18. Kedai kopi, salon, dan tischgessellschaften yang pada mulanya lebih didominasi oleh diskusi-diskusi karya sastra telah diwarnai oleh diskusi politik guna melawan para penguasa yang otoriter.

Yang monumental dalam sejarah ruang publik adalah bahwa ia menandai bangkitnya suatu masa dalam sejarah ketika individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dapat membentuk opini yang rasional di ruang publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apapun yang menyangkut kepentingan-kepentingan mereka sambil berusaha mempengaruhi praktik-praktik politik. Ruang publik memupuk oposisi terhadap bentuk-bentuk hierarkis dan tradisional dari otoritas feodal yang selama berabad-abad menguasai praktik politik di Eropa.


Struktur-struktur Sosial Ruang Publik

Ruang publik borjuis dipahami sebagai ruang masyarakat privat (sphere of private people) yang berkumpul bersama menjadi sebuah ruang publik (Habermas, 1989: 41). Dalam The Structural Transformation of The Public Sphere, Habermas berpendapat bahwa, “Otoritas publik” dalam pemahamannya yang sempit dikembalikan pada aktivitas yang dilakukan negara, yaitu pada seluruh aktivitas sistem negara yang dengan legal telah menegaskan wilayah yuridiksinya dan yang memiliki monopoli untuk melegitimasi penggunaan kekerasan. “Masyarakat sipil” muncul sebagai domain relasi ekonomi yang diswastakan (privatized) yang dibangun di bawah perlindungan otoritas publik. Ruang “privat” dengan demikian terdiri dari domain relasi ekonomi dan ruang relasi personal yang dengan cepat lepas dari aktivitas ekonomi dan bertumpu pada lembaga keluarga. Antara otoritas publik dengan ruang privat masyarakat sipil dan ruang yang diakrabi, muncul ruang “publik” yang baru: sebuah ruang publik borjuis yang terdiri dari individu yang datang bersama-sama untuk berbincang di antara mereka dan dengan otoritas negara yang memuat peraturan masyarakat sipil dan petunjuk Negara.

Berikut ini adalah BLUE PRINT ruang publik borjuis abad ke-18 melalui skema-skema wilayah-wilayah sosial

Wilayah Privat Ruang Otoritas Publik

Masyarakat sipil (wilayah pertukaran komoditas dan wilayah kerja sosial)

Ruang dalam keluarga konjugal (para intelektual borjuis)

Ruang publik di wilayah politis

Ruang publik di dunia sastra (klub baca, pers)

(Pasar bagi produk-produk budaya) “kota”

Negara (wilayah “polisi”)

Istana (masyarakat santun-terhormat)

Ruang publik kaum borjuis pertama kali dikembangkan dalam bidang sastra, dan kemudian ditransformasikan ke dalam ruang publik yang secara langsung menimbulkan persoalan-persoalan politik. Kedai kopi, salon, dan Tischgessellschaften (himpunan masyarakat-meja) menjadi pusat-pusat diskusi dan perdebatan; ketiganya menjadi wahana utama orang-orang berkumpul secara pribadi untuk membicarakan persoalan-persoalan sastra dan isu umum lainnya. Diskusi tersebut semakin lancar dengan adanya perkembangan industri surat kabar. Sebelumnya, pemberitaan dan surat kabar lebih banyak memperhatikan penyajian informasi dengan berbagai jenisnya, maka pada abad ke delapan belas kondisi tersebut beralih dan diorientasikan pada upaya pengungkapan pandangan-pandangan politik. Pers menjadi forum utama berlangsungnya perdebatan politik yang kritis, dengan memberikan komentar dan kritisisme terhadap tindakan pejabat resmi negara. Perkembangan tersebut sangat menonjol terutama di Britania, di situ pers mendapatkan kebebasan yang sangat besar dibandingkan wilayah lain di Eropa. Di Perancis dan Jerman, pers secara periodik mendapatkan sensor dan kontrol yang ketat dari Negara, dan hal itu disertai dengan perkembangan pembentukan perundang-undangan terhadap beberapa tingkatan kebebasan pers, demikian halnya sifat dan fungsi lain ruang publik (kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan lainnya), secara formal dimasukkan dalam hukum.

Kedai kopi, salon, dan Tischgessellschaften memiliki sejumlah kriteria institusional yang mirip yaitu

  1. Mereka mempertahankan suatu bentuk hubungan sosial yang jauh dari persyaratan kesamaan status. Kecenderungan mengganti penghormatan atas tingkatan dengan kebijakan yang cocok secara merata. Sama-sama memelihara kesetaraan sebagai manusia, terlepas dari atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi.
  2. Kedua diskusi dalam suatu publik mengisyaratkan permasalahan area yang kemudian tidak pernah dipersoalkan. Domain “perhatian umum” yang menjadi objek perhatian kritis publik menetapkan suatu perlindungan diantara otoritas gereja dan negara yang memiliki monopoli interpretasi tidak hanya dari mimbar tetapi juga dalam philosopi, literatur dan seni.
  3. Ketiga, proses yang sama yang mengubah budaya ke dalam komoditi, menciptakan sebuah public sphere yang pada prinsipnya bersifat inklusif. Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan obyek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja, dengan demikian fungsi publik (dalam hal ini sekelompok orang yang berdiskusi di coffee house dll.) adalah pendidik. Ruang publik borjuis memang berkembang dari sistem feodal yang menolak prinsip-prinsip diskusi publik terbuka pada masalah-masalah universal. Pada awalnya, para anggota public sphere hanyalah kaum borjuis laki-laki, bangsawan, dan intelektual yang bertemu untuk mendiskusikan karya-karya sastra. Namun begitu, dalam kajian Habermas dikemudian hari diskusi-diskusi tersebut telah bergeser menjadi pembicaraan-pembicaraan politik. Pembicaraan mengenai hal ini membuka jarak sosial dan merupakan perlawanan terhadap status quo. Sehingga, tujuan ruang publik pun berubah, menjadikan orang mempunyai sikap kritis terhadap kekuatan negara.

Sekalipun ruang publik kaum borjuis pada dasarnya terbuka bagi semua orang (individu), tetapi secara praktis ia terbatas hanya pada sejumlah orang. Kriteria pengakuan yang efektif adalah harta kekayaan (property) dan pendidikan (Thompson, dalam Boyd-Barrett, 1995: 253).


Fungsi-fungsi Politis Ruang Publik

Ruang publik yang turut berperan di wilayah politis muncul pertama kali di Inggris Raya pada awal abad ke 18. Ada tiga peristiwa penting sebagai tanda awal perkembangan ruang public di wilayah politis yaitu

  1. Pendirian Bank of England mengisyaratkan sebuah tahapan baru di dalam perkembangan kapitalisme
  2. Penghapusan lembaga sensor, menandai tahapan baru di dalam perkembangan ruang publik
  3. Terbentuknya pemerintahan kabinet

Fungsi political public sphere pada masa itu adalah merupakan sarana bagi masyarakat untuk membentuk konsensus-konsensus di dalam masyarakat itu sendiri, dengan tujuannya mengontrol kekuasaan yang didominasi oleh raja.


Media Massa dan Ruang Publik

Kedai kopi secara bertahap perannya mulai berkurang, sementara lembaga-lembaga komunikasi massa dengan cepatnya dikembangkan sebagai bentuk organisasi komersial yang meluas. Komersialisasi komunikasi massa mampu merubah karakternya secara fundamental: sebuah forum istimewa yang menjadi tempat berlangsungnya perdebatan kritis dan rasional tak lebih sekedar ajang konsumsi budaya, dan timbulnya ruang public jatuh ke dalam kepura-puraan pseudoprivacy yang diperindah dan dikendalikan oleh industry budaya.

Habermas memaparkan bahwa media pada awalnya (pada abad ke 19) dibentuk sebagai bagian integral dari ruang publik, tetapi kemudian dikomodifikasi melalui distribusi secara massal dan menjual audiens massa ke perusahaan periklanan. Surat kabar, radio, dan televisi pada masa itu masih sebagai forum untuk diskusi isu-isu kepentingan publik di antara orang-orang yang berpengetahuan, yang tertarik, berbicara atas nama kepentingan social yang lebih besar, dan diskusi yang berpotensi memiliki pengaruh politik. Namun, media massa akhir abad ke 19 dan ke 20 dipengaruhi oleh kekuatan komersial dan kepentingan.

Peran mengisi ruang antara kekuatan negara dan civil society sebenarnya dapat diisi oleh media massa. Media dapat memainkan peranan signifikannya dalam membentuk dan menyebarluaskan informasi dalam pembentukan opini publik (dalam Oliver Boyd Barrett, 1995).


Beberapa Kritik Terhadap Habermas

Banyak kritik telah disampaikan terhadap konsep public sphere Habermas, misalnya datang dari Thompson (dalam Featherson, 1993). Kritiknya itu antara lain :

Pertama, secara historis Habermas terlalu menekankan publik yang ada pada public sphere borjuis dan mengabaikan bentuk-bentuk lain wacana publik yang ada pada abad 17, 18 dan 19 di Eropa. Selain public sphere borjuis juga terdapat gerakan politik dan sosial yang populer dan bukan merupakan turunan dari public sphere borjuis. Bahkan diantara keduanya seringkali bersifat bertentangan. Berkaitan dengan hal ini, Habermas mengakui perlunya pendekatan yang lebih fleksibel terhadap gerakan sosial populer dan bentuk-bentuk budaya populer. Pendekatan tersebut tidak hanya menilai karakternya tetapi juga kemungkinannya untuk memiliki bentuk dan dinamikanya sendiri.

Kedua, model public sphere borjuis merupakan idealisasi proses sejarah aktual dan tidak sesuai dengan karakter gerakan sosial non borjuis. Public sphere borjuis terbatas pada elit yang berpendidikan dan golongan laki-laki. Habermas tidak menyadari marjinalisasi perempuan di kalangan borjuis dan karakter patriarkat keluarga borjuis. Studi-studi feminist yang ada menunjukan bahwa penarikan (exclusion) perempuan dari public sphere tidak hanya karena kondisi sejarah yang memungkinkan, tetapi juga karena penarikan tersebut terkandung dalam pengertian atau gagasan mengenai public sphere itu sendiri. Public sphere merupakan wacana politik khusus kelompok gender tertentu (laki-laki) dan merupakan kawasan rasionalisme dan universalitas dimana laki-laki diperlengkapi kemampuan untuk berpartisipasi dan perempuan hidup dalam dunia domestik.

Ketiga, bagian terlemah dari structural Transformation adalah mengenai “penurunan dari public sphere”. Argumen Habermas tentang transformasi public sphere pada abad 19 dan 20, tidak berisi detil material empiris. Menurut Habermas, terjadi konsumerisme publik dan refeodalisasi public sphere melalui hegemoni kapitalis atas media. Thompson berpandangan terdapat penjelasan yang keliru dengan menunjukan dua alasan . Pertama, diragukan apabila konsumen media massa adalah konsumen yang terpikat (enthrall) dan dapat dimanipulasi. Terdapat proses penerimaan (process of reception) yang menggambarkan penerimaan orang terhadap isi media merupakan proses kreatif yang rumit dan kreatif. Kedua, berkenaan dengan gagasan refeodalisasi public sphere. Habermas melihat politik yang ada saat ini hanya mengandalkan penampilan pribadi seorang politisi (personal aura) daripada debat politik yang membandingkannya dengan kondisi pada abad pertengahan. Perbandingan tersebut tidaklah relevan karena kondisi komunikasi bertatap muka sekarang ini berbeda dengan komunikasi melalui media yang dilakukan oleh politikus dengan publik. Selain itu, pada abad pertengahan politisi berhadapan dengan orang-orang dengan konteks budaya dan temporal yang sama. Sedangkan saat ini pemimpin politik berhadapan dengan jutaan pendengar yang sangat tersebar secara spatial.

Keempat, structural tansformation hanya relevan untuk kondisi masyarakat barat pada abad 20-an, karena saat itu terjadi diferensiasi sosial dan Habermas telah memperbaiki teorinya melalui bukunya the theory of communicative Action yang membedakan sistem dengan dunia kehidupan yang mempunyai implikasi besar dalam teori demokrasi dari Habermas.

Kritik lain yang diajukan Thompson dan tidak banyak disinggung oleh ahli lainnya adalah filosofi yang melandasi wacana praktis yakni konsepsi dialogis. Konsepsi tersebut hanya mempunyai sedikit kesesuaian dengan jenis komunikasi melalui media, sehingga kesesuaian dengan jenis public sphere dimana media ikut membentuknya menjadi tidak relevan.

Cara berpikir Habermas mengenai media cetak dibentuk oleh model komunikasi yang didasarkan pada kata yang diucapkan (lisan) seperti pada public sphere borjuis. Cara berpikir ini tentu saja tidak sesuai dengan kondisi komunikasi melalui media. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Habermas melihat media massa dalam pengertian negatif dibandingkan dengan public sphere borjuis karena situasi komunikasinya berbeda (tanpa dialog, karena melalui proses penerimaan isi media yang bersifat pribadi).

Memang kalau kita analisa, Habermas sangat pesimistik dalam melihat media massa, ini terlihat dari penilaiannya terhadap produk media massa yang dianggapnya manipulatif. Betul bahwa media seperti radio dan TV membentuk format-format baru komunikasi, seperti show, disksusi panel dll, namun hal tersebut dalam pandangan Habermas tidak sepadan dengan debat-debat rasional dan kritis yang terjadi di public sphere.

Terlepas dari kekurangan konsep public sphere Habermas dalam hubungannnya dengan media, konsep tersebut setidaknya memiliki kelebihan-kelebihan yang perlu dihargai. Pertama, kebenaran (authenticity) sosiologis yang mengesankan dan menggambarkan kelangkaan karya yang setara untuk media lain, dalam konteks dan sejarah yang berbeda. Kedua, memberikan pengaruh kuat kepada masa glasnot yang diikuti oleh tumbangnya Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ketiga, inspirasi kebijakan reagenian dan tatcherian serta divusi (penerapan) konsep tersebut pada birokrasi umum dengan maksud untuk merevitalisasi dan memperkuat ideologi dan praktek kapitalis menimbulkan suatu kondisi “menantang” analisis oposisional radikal, dan pada saat yang sama kondisi tersebut memperlemah legitimasi dan kesempatan menggunakan analisis tersebut. Keempat, kepentingan praktis penelitian untuk membantu mendefinisikan ulang dan mengatur peranan media di Timur, bersamaan dengan kepentingan Barat berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi swastanisasi media publik dan komersialisasi yang lebih intensif pada media swasta. Kelima, keuntungan politis bagi intelektual media untuk membangun dialog dengan dunia dalam kehidupan akademis.


Jika media massa banyak dipahami sebagai sesuatu yang “dari kapitalis oleh kapitalis dan untuk kapitalis”, maka pertanyaannya masih adakah media yang berpihak kepada public sphere? Atau mungkin lebih tepatnya, mampukah media massa berperan sebagai public sphere dalam tatanan masyarakat modern dewasa ini?

Lalu apakah yang dimaksudkan dengan public sphere? Dalam hal ini saya lebih merujuk kepada konsep public sphere dalam pengertian Jurgen Habermas. Konsep tersebut muncul dalam pemikiran Habermas tentang harapan akan aanya suatu kondisi atau suatu dunia (ruang) di mana terjadi suatu komunikasi yang bebas dari dominasi, suatu uncoersive comunication, di dalam masyarakat. Diskusi yang semacam itu hanya mungkin muncul di dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itulah yang disebut dengan public sphere (Hardiman, 1993: 128-129).

Jurgen Habermas (1997) mengungkapkan bahwa tiap-tiap individu berhak dan memiliki hak yang sama untuk masuk ke dalam public shere tersebut. Tiap-tiap orang pada dasarnya sebagai individu yang privat, bukan sebagai orang yang dengan kepentingan bisnis atau politik tertentu. Adanya jaminan bagi mereka untuk berkumpul dan mengekspresikan ide dan gagasan serta pendapat secara bebas tanpa ada perasaan takut atau tekanan dari pihak manapun.

Di dalam The Structural Transformation of The Public Sphere (1997: 27), Habermas menjelaskan sebagai berikut:

“The bourgeois public sphere may be conceived above all as the public sphere of private people come together as public; they soon claimed the public sphere regulated from above against the public authorities themselves, to engage them in a debate over the general rules governing relations in the basically privatized but publicly relevant sphere of commodity exchange and social labor”

Habermas (1997: 105) selanjutnya menambahkan tentang kriteria public sphere sebagai berikut:

“ A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest wihout being subjected to coercien…(to) express and publicize their views.”

Jurgen Habermas mengidamkan adanya sebuah situasi di mana munculnya sebuah public sphere (ruang publik), dimana komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Dalam esainya, The Public Sphere, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial macam itu dalam sejarah masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya “dunia publik” (public sphere). Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik dapat disebut dunia publik. Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia macam itu. Mereka sebetulnya aalah orang-orang privat, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan, melainkan soal-soal kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam situasi ini orang-orang privat ini berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta mengumumkan opini-opini mereka secara bebas (Hardiman, 1993: 128-129).

Menurut Peter Dahlgren (2002) dalam tatanan masyarakat modern yang tidak memungkinkan untuk munculnya keterwakilan masyarakat dalam pembicaraan komunikasi politik kecuali dalam jumlah yang relatif kecil, maka media massa pada akhirnya diharapkan menjadi institusi public sphere.

Jika dahulu Habermas mencontohkan praktek konkret public sphere dapat kita lihat di coffee house, maka kemunculan media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka peran mereka menurut John Hartley (1992) telah tergantikan oleh media massa.

Namun, pesoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah bagaimana menumbuhkan public sphere macam itu, sementara yang namanya dominasi selalu ada di dalam ruang-ruang sosial dan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Bahkan jika kita berbicara tentang media massa, banyak pula dibicarakan adanya kemungkinan-kemungkinan untuk menumbuhkan public sphere di dalam media massa. Media massa diidamkan untuk menjadi ruang bagi publik untuk menyampaikan segala macam gagasan, pemikiran, secara bebas untuk kemudian menjadi opini publik itu sendiri.

Permasalahan yang terjadi adalah ternyata kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan public sphere di dalam media massa adalah sesuatu yang teramat sulit jika tidak mau dikatakan mustahil.

Sejumlah asumsi yang mendasari sulitnya mengharapkan kemunculan publis sphere di dalam media massa antara lain adalah masalah akses. Bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki akses terhadap media massa itu sendiri. Media massa cenderung melakukan seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh memiliki akses terhadap media tersebut.

Ruang yang terbatas di dalam media massa juga seringkali dijadikan dalih bagi media massa untuk tidak menyediakan ruangan bagi dunia publik. Ruangan yang dimiliki oleh media massa mayoritas sudah dikavling oleh program-program media itu sendiri, bahkan seringkali ruangan tersebut telah dipesan oleh para pengiklan. Jadi tidak tersisa lagi bagi ruang publik.

Ruangan-ruang media massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.

Habermas (1997: 141-250) sendiri kemudian sempat mengutarakan tentang terjadinya degradasi public sphere yang salah satunya disebabkan justru oleh praktek media massa, dan juga ditambah dengan budaya konsumtif. Media massa dianggap berepran dalam mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif, dan bukan lagi masyarakat yang logis. Budaya konsumtif telah mengarahkan masyarakt untuk lebih peduli terhadap konsumerisme daripada politik. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat seakan makin memberikan tempat bagi kapitalisme untuk ‘menguasai’ praktek media massa. Media massa menjadi tempat untuk iklan dan promosi barang-barang, daripada tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi politik yang penting.

Daftar Pustaka:

  • Habermas, Jürgen (German(1962) English Translation 1997). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge Massachusetts: The MIT Press
  • Dahlgren, Peter, The Public Sphere as Historical Narrative, dalam Denis McQuail (ed), Reader in Mass Communication Theory, Thousand Oakes: Sage, 2002
  • Hardiman, Fransisco Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993

Tinggalkan komentar