RESENSI BUKU NIETZSCHE – SUNARDI


RESENSI BUKU : NIETZSCHE

Karya ST. Sunardi


Riwayat Hidup

Friedrich Nietzsche lahir di Roken Jerman pada tahun 1844, lahir di lingkungan keluarga Kristen yang taat. Ayahnya seorang pendeta terkemuka dengan garis kependetaan yang terwaris secara turun-temurun dari keluarga ayahnya. Kakeknya adalah pendeta gereja Lutheran yang menduduki jabatan cukup tinggi, sementara Ibunya juga seorang penganut Kristen yang taat. Sejak Nietzsche menjadi anak yatim pada saat usianya lima tahun, ibu dan neneknya,  kakak-kakak wanita serta tantenyalah yang memelihara dan mendidiknya. Dalam lingkungan keluarga penuh kehalusan dan kasih sayang itu ia tumbuh seperti “pendeta cilik’ yang menghormati keteraturan, kerapihan dan kejujuran. Ia membenci teman-temannya yang nakal, yang suka mencuri serta merusak milik orang lain.  Semasa kecil Nietzsche  mengikuti tradisi keluarga sebagai seorang anak yang taat  pada agama, pendiam, kutu buku sehingga  ia dijuluki sebagai “minister” atau pendeta tinggi oleh teman-temannya. Pada awalnya Nietzsche memperlihatkan perhatian yang besar terhadap masalah  filsafat ketuhanan, akan tetapi yang amat mengherankan adalah mengapa ia justru  melakukan pemberontakan terhadap tradisi yang dipegang teguh oleh keluarganya.

Karya – karya yang ia hasilkan ternyata menggemparkan dunia pemikiran sampai saat ini. Di antara karyanya adalah:  The Birth of Tragedy (1872),   Human All, to Human (1878-1890), The Dawn of Day (1881), The Joyful Wisdom (1882), Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra (1883), Jenseits von gut und böse (antara baik dan Jahat) (1886), Zur Genealogy of Moral  (The Genealogy of Morals) (1887). The Anti-Crist (1888),  The Will to Power, diterbitkan anumerta  (1910).  Buku ini umumnya ditulis pada masa ia berkelana untuk mengobati berbagai penyakit yang dideritanya. Saat ia merasa terkucil dan putus asa, justru semangat dan jiwa pemberontakannya berkobar-kobar. Buku-buku ini dirasa unik karena ditulis dalam bentuk aforisme-puitis, serta penegasan-penegasan ironis diungkapkan dalam bentuk antara majas dan harfiah sehingga sering kontradiktoris dan membingungkan. Zarathustra merupakan salah satu bukunya yang membawanya terkenal, yang melaluinya ia menyampaikan dua gagasan utama tentang “manusia unggul”. Pada tahun 1888 tingkah lakunya terlihat semakin aneh. Dari hasil diagnosa dokter ia dinyatakan gila. Selama ia sakit sampai kematiannya tahun 1900, ia dirawat saudarinya Elizabeth yang juga berhasil menyunting tulisan-tulisan Nietzsche cukup baik.


Latar Belakang Pemikiran Nietzsche

Nietzsche adalah seorang filsuf penting, karena dialah yang pertama kali menyadari apa sesungguhnya arti ‘modern’ bagi masyarakat Eropa Barat. Ia juga melihat betapa nilai-nilai dan kepercayaan Kristen yang telah berkembang selama dua ribu tahun akan segera berakhir. Dengan hilangnya kepercayaan ini berarti kehidupan individual kita tidak bermakna lagi. Konsekuensi yang paling buruk dari hilangnya kepercayaan itu adalah bahwa semua nilai-nilai terpenting dalam pemikiran Barat dianggap hanyalah berupa ‘metafisika’ yang tidak memiliki landasan. Nietzsche menganggap dirinya sebagai nabi baru dan beranggapan bahwa pemikirannya lahir terlalu awal, sehingga pemikiran-pemikirannya tidak dapat difahami generasi pada masa hidupnya. Kini banyak pemikir-pemikir Barat yang menyebutnya sebagai inspirator utama bagi gerakan yang disebut dengan postmodern.

Filsafat Nietzsche menunjukan corak pemikiran filsuf pra-Socrates dan juga kritik terhadap kristianitas. Cara berpikir model Kristanitas sudah muncul pada diri Socrates yang mendorong lahirnya keyakinan akan adanya kekekalan jiwa dan kebenaran mutlak. Ajaran Socrates dan Plato ini kemudian berbaur dengan teologi Kristen yang pada akhirnya mempengaruhi pemikiran zaman Pencerahan (modern) seperti yang dilakukan Descartes yang mencoba membuktikan ekisitensi jiwa yang kekal serta kebenaran ilmu pengetahuan yang kekal pada matematika dan ilmu pengetahuan yang menggunakan metode model matematika itu. Menurut Nietzsche para filsuf telah membodohi diri mereka sendiri dan masyarakat Barat dengan mempercayai adanya kebenaran pengetahuan yang mutlak dan paripurna. Nietzsche bertekad untuk menghabisi kepercayaan filosofis seperti ini  dengan mendekonstruksi Filsafat Barat Modern. Hal yang sama juga dilakukan noe-Nietzschean  (Derrida, Foucault, Rorty) yang dikenal sebagai  postmodernis radikal. Dekonstruksi Nietzsche atas filsafat dan nilai-nilai Barat itu dikemukakannya melalui beberapa pemikirannya, antara lain: “Tuhan sudah mati”, “nihilisme”,  “Kembalinya segala sesuatu”, “manusia unggul”, dan “Kehendak untuk berkuasa”.


Tuhan Sudah Mati

Dalam tulisan-tulisannya Nietzsche seakan-akan menghabiskan semua kemampuannya untuk menyerang kepercayaan suci agama Kristen. Dalam buku Beyond Good and Evil, ia mengemukakan : “Sejak semula kepercayaan Kristiani adalah pengorbanan sebuah pengorbanan dari segenap kebebasan, segenap harga diri dalam jiwa, dan pada saat bersamaan, memperbudak diri serta mengejek diri sendiri, mengebiri diri sendiri (Nietzsche, 1989: 250). Pernyataan lain dalam The Will to Power Nietzsche mengemukakan, ”Aku menghargai Kristianitas sebagai kebohongan menggairahkan paling fatal yang pernah ada, sebagai satu kebohongan tak suci yang terbesar…” (Nietzsche,1968, 117).

Puncak serangan Nietzsche itu akhirnya ia tunjukkan dengan pernyataannya yang paling terkenal “Tuhan telah mati” (God is death).  Dengan kematian Tuhan ia berharap terbuka ruang kebebasan bagi manusia, terbuka pula  pengembangan potensi manusia secara penuh. Deleuze mengatakan pernyataan  Nietzsche tentang Tuhan sudah mati” itu dapat diartikan bahwa “Tuhan telah menjadi manusia dan Manusia telah menjadi Tuhan”. Bisa diartikan juga bahwa manusia telah mempertuhankan dirinya, dan sebaliknya mereduksi makna tuhan menjadi sama dengan manusia.

Gagasan kematian Tuhan disampaikan Nietzsche melalui bukunya The Gay Science  yang disampaikan melalui aforisme “Orang gila” dan pernyataan Zarathustra. Kisah orang gila mengisahkan  seorang yang mencari Tuhan dengan membawa obor yang menyala di siang bolong. Di semua tempat yang ia lalui ia bertanya pada orang  “dimana Tuhan?” Orang-orang yang mengerumuni Zarathustra, menuduhnya orang gila, akan tetapi ia menyatakan bahwa ia benar-benar mencari Tuhan. Aku telah mencari Tuhan dimana-mana, tapi aku sudah tidak menemuinya. Aku ingin menyatakan pada kalian bahwa, “Tuhan sudah mati, Tuhan terus mati, dan kita semua telah membunuhnya”.

Pengertian Tuhan sudah mati yang dikemukakan Nietzsche sering ditafsirkan beragam: Ada yang mengekukakan sebagai kritiknya terhadap modernitas/kebudayaan modern; Kritik terhadap ilmu pengetahuan (tuhan) zaman modern; Kritik terhadap rasionalitas; serta kritik terhadap seni dan moral. “Tuhan mati” bisa juga berarti tuhan yang diciptakan manusia sendiri yang dinyatakan sebagai sumber nilai-nilai. Ada juga yang mengartikan bahwa pernyataan Nietzsche itu, sebagai satu ramalan akan munculnya zaman modern (abad XX) di mana manusia Barat tidak lagi mempercayai Tuhan. Sehingga tidak ada lagi bukti kepercayaan itu dalam kehidupan keseharian mereka. Jelas sekali bagi Nietzsche bahwa kepercayaan agama Kristen irrasional (tidak masuk akal) sedangkan moralitas yang muncul dari agama itu menindas dan menyebabkan orang bersifat lemah. Itulah yang kemudian disebutnya dengan moralitas budak. Karena itu pernyatannya tentang kematian Tuhan, sebagai satu serangan pada sikap hipokrit kaum beragama, serangan terhadap basis kepercayaan dan moralitas budak tersebut.

Nietzsche menganggap bahwa kepercayaan manusia Barat pada Tuhanlah yang merupakan pangkal semua masalah kemunduran dan butanya masyarakat. Dengan mematikan Tuhan Nietzsche berharap dapat menjadikan manusia sebagai manusia unggul yang menentukan segalanya berdasarkan kemauannyanya sendiri. Setelah membunuh Tuhan maka akan timbul kekosongan nilai-nilai universal yang berlaku, kondisi kekosongan inilah yang disebut Nietzsche dengan nihilisme. Untuk mengubah kondisi kekosongan nilai-nilai itu diperlukan keberanian untuk menjadikan semua potensi dan kemampuan manusia untuk mengatasi semua keterbatasannya. Potensi dan semua kemampuan manusia yang ada di dalam dirinya itulah yang disebut Nietzsche dengan Ubermensch.  Kepercayaan pada Tuhan dalam pandangan Nietzsche bertentangan dengan konsep manusia yang sebenarnya,  karena menunjukkan kelemahan manusia itu. Manusia terdiri dari badan dan jiwa, badan berproses dan tumbuh menurut hukum biologis, sementara jiwa hanyalah sebuah nama yang terdapat dalam badan manusia. Dalam pandangan Nietzsche Tuhan yang digambarkan hanyalah  proyeksi kesadaran manusia terhadap, kekuatan atau cinta terdapat di dalam dirinya.

Pada era postmodern, konsep antimetafisika dan kematian Tuhan itu sepertinya menjadi realitas dalam pandangan masyarakat Barat umumnya. Sepertinya kepercayaan pada Tuhan sudah Musnah. Secara umum agama sepertinya tinggal sisa-sisa, bahkan dikalangan Teologi Kristen muncul ”Teologi Kematian Tuhan”.


Ubermensch

Konsep “Ubermensch” di kemukakan Nietzsche melalui Zarathustra yang turun dari gunung ke kota, di sebuah pasar ditengah penduduk yang lagi ramai menunggu  penampilan seorang penari. Zarathustra menyampaikan berita besar tentang manusia super (Ubermensch, superman) sebagai gambara manusia ideal. Ubermensch adalah manusia super yang menentukan sendiri makna dan tujuan hidupnya, sebagai pengganti manusia yang ditentukan oleh Tuhan yang sudah mati. Ada istilah lain yang sama maksudnya dengan konsep Ubermensch Nietsche yaitu ‘the last man’ atau manusia terakhir. Manusia unggul adalah upaya untuk mencapai terus-menerus keunggulan manusia.

Ia mengajukan  konsep manusia “luhur”  akan tetapi bukan sebagai tipe manusia universal,  manusia luhur Nietzsche adalah manusia otokratis yang berkuasa/memerintah yang mampu melakukan suatu yang bengis, apa yang dianggap kasar dan kejahatan. Manusia unggul bukan ciptaan alam karena alam sering kurang adil dan alam lebih mencintai meraka yang sedang-sedang saja. Manusia unggul hanya hasil dari seleksi  manusia, kemudian melalui perbaikan kecerdasan dan pendidikan yang terbaik untuk meningkatkan  keangungan individu.  Jelas bahwa konsep manusia luhurnya ini  sebagai sinismenya terhadap pandangan agama. Ia mengakui peran dari kebengisan dalam keunggulan aristokratik, ia mengemukakan, hampir semua yang kita sebut “kebudayaan tinggi”  didasarkan pada spiritualitas dan intensifikasi kebengisan”.

Supermen adalah manusia ideal Nietszche, manusia unggul adalah orang yang mengembangkan ketrampilannya secara penuh, mengembangkan potensinya dan merangkul kehidupan  dengan segala gairah dan nafsunya. Supermen adalah individu yang memiliki visi dan mengegrakkan langi  dan buki demi untuk mencapai tujuannya. Ia memberi contoh, Napoleon dan Julius Caesar sebagai superman, mereka mengguncang tatanan sosial yang ada pada masanya. Hitler mengambil konsep manusia unggul itu dan menyelewengkannya dari konteks yang dimasudkan Nietszche, karena bagi Nietszche Ubermensch dimaksudkan untuk membebaskan dan meningkatkan  mutu hidup, bukan menginjak orang demi tujuan yang picik.


Kehendak Untuk Berkuasa

Kehendak untuk berkuasa merupakan pemikiran puncak Nietzsche. Untuk mendobrak mentalitas manusia Barat yang menurutnya memiliki “moralitas budak” (slave morality). Nietzsche dan Sartre sering disebut sebagai tokoh eksistensialis yang ateis, akan tetapi dengan argumentasi yang berbeda. Meskipun Nietzsche dan Sartre disebut sebagai eksistensialis yang ateis, akan tetapi tetap tertarik untuk membicarakan masalah moral, walaupun dalam bentuk pendobrakan (dekonstruksi) moral religius. Kaum Eksistensialisme termasuk pemikir yang paling banyak  mambahas masalah moralitas selama abad abad XX. Nietsche sebagai seorang eksistensialis menarik kesimpulan tegas dengan menyatakan bahwa moralitas Barat adalah moralitas budak. Nietzsche berpendapat bahwa agama Kristen memberi dasar dan senjata bagi orang lemah.

Nietsche semula merencanakan untuk membuat karya besar tentang moralitas budak, namun ternyata rencananya ini tidak terwujud. Setelah kematiannya adiknya (Elizabeth) membuat catatan-catatan tentang tulisan-tulisan Nietzsche yang tersebar tentang tema moralitas ini dengan judul, der Wille zur Macht. Karena itu pemikiran Nietsche tentang kehendak untuk berkuasa tidak sistematis dan akhirnya banyak di salah artikan. Seperti Prof Blumer yang mengabungkan  kehendak untuk berkuasa dengan keunggulan ras Aria yang kemudian berkembang menjadi semboyan rasisme Nazi Jerman “Deutshland, Deutschland uber Alles” (Jerman, Jerman di atas segalanya).


Kritik Nietzsche  terhadap Rasionalitas dan Kebenaran

Pemikiran Nietzsche tentang kebenaran dan profesi sarjana, tidak terlepas dari  posisinya berkenaan dengan ‘kebenaran dan kebohongan’ dalam pengertian ekstra moral. Upayanya untuk mentranvaluasi nilai-nilai bukan hanya nilai moralitas, akan tetapi juga nilai-nilai ilmiah dan rasionalitas. Kritiknya  yang tajam terhadap paradigma rasionalitas  modern, adalah upaya untuk menerima kekayaan dimensi manusia, dan tidak  terperangkap oleh kebenaran moral dan rasionalitas saja. Untuk itu ia menawarkan seni untuk memasuki  dimensi manusia yang paling dalam, yang tidak mampu di raih oleh rasio manusia.Seni seperti seni Wagner bagi Nietzsche dapat mengatasi kemerosotan kebudayaan Barat (Jerman), karena musiknya dapat menunjukkan dimensi kehendak sebagaimana dikemukakan Schopenhauer. Bagi Schopenhauer seni sebagai jalan menghilangkan penderitaan yang ditimbulkan oleh kehendak hanya bersifat sementara, jalan yang lebih sempurna untuk menghilangkan penderitaan itu adalah melalui asketisme. Neitzsche menolak cara yang ditawarkan Schopenhauer, yang dianggapnya cara orang lemah dan melarikan diri pada dunia mimpi (ilusi). 

Menurunnya seni dan tragedi dapat mengatasi dekadensi kebudayaan Modern. Baik Shopenhauer maupun Nietzsche menolak gagasan Kant yang mengangungkan rasio. Menurut Kant hanya rasiolah yang dapat memahami fenomena. Dengan keberanian menggunakan rasio secara otonom pulalah manusia memperoleh kedewasaannya (Pencerahan) dan modernitas. Schopenhauer dan Nietsche lebih menekankan pada keinginan, hasrat daripada rasio. Ia menyetakan bahwa rasionalitas sesungguhnya bersifat kontingen, dan klaim apapun tentang kebenaran objektif adalah kekeliruan yang paling dalam.

Jadi, kebenaran ibarat kawanan tentara (divisi lokal) yang masing-masing menjaga keamanan dalam wilayahnya sendiri-sendiri. Nietzsche berpendapat bahwa bahasa tidak tepat  untuk mengungkapkan kebenaran tergantung pada pengakuan terhadap keragaman kultural dan komitmen terhadap gagasan bahwa masing-masing kebudayaan memandang dunia dari skema konseptual yang terpisah atau sekama konseptual masing-masing.  Setiap klaim kebenaran menurut Nietzsche  tergantung pada pandangan dan perspektif tertentu, setiap klaim  kebenaran secara keseluruhan bersifat imanen dalam sebuah kebudayaan dan bahasa  serta argumen khusus. Nietzsche juga mengakui pluralisme kebudayaan dan nilai-nilai yang satu sama lain tidak dapat dibandingkan. Pluralisme  Nietzsche juga sebagai penolakan terhadap logika dialektika, karena dialektika mematikan pluralitas dengan pencarian konsensus.

Pemikiran Nietzsche patut dan layak difahami oleh teoritisi sosial dan politik, terutama karena pengaruhnya yang besar bagi pemikiran postruk-turalis dan posmodernis yang mewarnai pemikran ilmu pengetahuan sosial-budaya sekarang ini. Nietszhe tidak mendukung kapitalisme yang disebut sebagai ideologi yang berusaha mempercepat kemajuan budaya dan kekuatan individu. Ia menganggap orang-orang yang terlibat dalam ekonomi kapitalis sebagai ”semut semut pekerja” yang giat yang digerakkan oleh pemilik modal. Meskupun ia mengkritik kapitalis, namun Nietszche bukan pendukung sosialisme, baginya sosialisme hanya sekedar pendukung saja bagi perubahan sosial. Sementara ”egalitarianisme” yang menyertai kapitalisme menurut Nietszche  mengakibatkan individu dan budaya  akan lemah dan tumbang.  Nietszce cendrung menekankan budaya dan kehendak untuk acuh (willto deception) terhadap ilmu pengetahuan dan kebenaran.  Ilmu pengetahuan diasosiasikannya dengan rasionalitas dan asketisme, sementara budaya dikaitkan dengan permainan irasionalitas bebas. Banyak posmodernis mengambil inspirasi dari Nietzsche, namun umumnya dalam beberapa hal mereka berbeda dengan Nietszhe, seperti kecendrungan posmodernis pada sayap pada egalitarianisme, hak-hak asasi, dan liberalisme.


PENUTUP

Argumen-argumen relativis(me) Nietzsche yang didasarkan atas relativisme kultural dan sejarah menunjukkan bahwa begitu banyak penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda tentang realitas sesuai dengan perbedaan perspektif dan budaya. Nietzsche menunjukkan bahwa sistem pemikiran Barat didasarkan atas sistem metafisika tertentu, misalnya, ajaran esoterik Nietzsche seperti kehendak untuk berkuasa, kembalinya segala sesuatu secara abadi yang sengaja diajukan untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu itu menuju pada arah “ketiadaan” (nothing). Pemikiran Nietzsche penuh dengan kontradiksi bahkan sebagian tidak benar, atau setidaknya bertentangan dengan penemuan ilmiah misalnya konsepnya tentang alam yang tidak berawal dan berakhir. Apalagi gaya tulisannya yang lepas dari kungkungan aturan ilmiah, cara menulis yang penuh dengan ironi, metafora dan hiperbola.  Gaya tulisannya bergerak antara filsafat dan puisi, tubuh dan kesadaran, antara emosi dan nalar. Nietzcshe dan pengikutnya yang  muncul melalui filsafat posmodern menggunakan metafora sebagai pengembangan makna  di luar yang diterima, untuk menginspirasi kata, pikiran, dan hidup.

Serangan Nietzsche pada Agama Kristen serta pada ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat modern seakan-akan sebagai upaya untuk meruntuhkan narasi-narasi besar zaman modern. Francois Lyotard lah yang kemudian menyatakan secara tegas tentang runtuhnya narasi-narasi besar zaman modern itu. Pada tahun 1960-an beberapa filsuf  Prancis yang dipengaruhi oleh Heidegger, mulai kembali menganalisis karya-karya Nietzsche sebagai suatu kritik terhadap kebudayaan modern dan Kebenaran. Pemikir-pemikir posmodernis ini, boleh dikatakan sebagai sebuah catatan-catatan kembali proyek dekonstruktif Nietzsche. Robert Pippin misalnya dengan jelas menyatakan bahwa, filsafat Nietzsche dalam bahasa yang lebih fashionable adalah sebuah solusi (bagi krisis modernitas) yang mendekonstruksi dirinya, akan tetapi orang yang bertanggungjawab terhadap dekonstruksi  bukan tekstualitas itu sendiri, akan tetapi Nietzsche.

Salah satu pemikiran Nietzsche yang menggema dalam filsafat ilmu pengetahuan sekarang adalah pandangan bahwa ilmu pengetahuan sebagai aktivitas sosial dan kultural yang sifatnya sangat terbatas, sesuai dengan keterbatasan manusia itu sendiri (manusiawi). Pemikiran seperti ini dikemukakan Kuhn, Francois Lyotard, Jean Baudrilard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty atau postrukturalis dan posmodernis umumnya. Nietzsche dan pemikir-pemikir tersebut menawarkan pandangan tentang ilmu pengetahuan yang baru, yang lebih bersifat  pragmatis serta menyadari bias dan beberapa keterbatasannya.

Pengaruh pemikiran Nietszche terlihat pada pemikiran posmodernis seperti: metode dekonstruksi, penolakannya pada kebenaran objektif dan universal,  kematian subjek, antifundasi-onalisme, antiesensialisme,   pluralis, skeptisisme, anti metafisika, dan ati dialektika, dan lain-lain. Pengaruh Nietszche yang begitu besar terhadap sebagian besar  pemikiran  posmodernis (Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty, Filex Guattari, Gilles Deleuze, Jean Baudrillard) yang menggunakan dan memperluas gagasan Nietzche pada pemikiran mereka. Semua ini mengangkat nama dan pemikiran Nietzsche kembali, sehingga Ia  dijuluki sebagai Bapak Posmodernis(me). Meskipun Nietzsche mensubordinasikan  ilmu pengetahuan di bawah budaya, namun Ia menyetujui pentingnya kehendak untuk kebenaran (will to truth), yaitu kehendak untuk melihat realitas apa adanya, melihatnya realitas dan kehidupan ”dalam keanekaragaman, ketidakpastian”. Di sini individu yang berdaulat, visi yang penuh gairah dan kecermatan disiplin diperlukan untuk menghadapi ”lautan luas kehidupan” sebagai tugas berat dan serba mungkin.

 


Daftar Pustaka

Nietzsche, Fredrich 2001. Nietzsche Zarathustra (terj, H.B. Yassin et.al) Yogyakarta: Yayasan Bentang.

________________, 1989. Beyond Good and Evil (Terj.). Yogyakarta: Ikon,

________________, 1993. Sabda Zarathustra (Terj. . Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.

Russell, Bertrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat. (terj. Sigit Jatmiko, Agung Prihantono). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suseno, Franz Magnis. 1997. Tiga Belas Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius.

Sunardi, St. 2006. Nietzsche, Yogyakarta: LKIS.

Tinggalkan komentar