Calvinisme dan Transformasi Politik


Salah satu transformasi sosial yang paling terasa dari Reformasi Protestan (khususnya calvinisme) terlihat dari sistem perpolitikan modern. Hampir seluruh pemerintahan di dunia saat ini memakai sistem demokrasi yang berformat republik. Tercatat 147 dari 206 negara di dunia memakai republik sebagai nama resminya, belum lagi negara yang tidak memakai istilah republik tapi faktanya melakukan sistem perpolitikan ini.[1]

Sistem republik telah dikenal sejak zaman Yunani kuno, namun corak perpolitikan republik modern adalah bentuk khas milik calvinisme.[2]

Prinsip pemerintahan Jenewa diakui oleh kaum Puritan sebagai model pemerintahan Kristen yang hampir sempurna.[3]

Bisa dibilang warisan paling abadi dari tradisi calvinisme adalah penekanan pada kedaulatan rakyat dan hak melawan tirani.[4]

Setelah hadirnya Calvin, pandangan politik ini diterima secara luas di seluruh dunia, di mana pada abad-abad sebelumnya dipandang sebagai pandangan yang radikal. Bisa dibilang, prinsip calvinismelah yang telah melepaskan seluruh dunia dari ikatan tirani para raja di abad sebelumnya dan membawa seluruh sejarah umat manusia memasuki zaman demokrasi modern. 


Reformasi
Sebelum Reformasi, posisi gereja sangatlah dominan dan disertai aktivitas-aktivitas korup dari para rohaniwan dan pemerintah. Sebenarnya pada masa ini mulai muncul republik-republik kecil yang berusaha melawan pola sentralisasi dan monarki yang telah bertahan berabad-abad. Namun salah satu penyebab sulitnya perubahan dilakukan adalah akibat ajaran gereja yang mewajibkan ketundukan mutlak umat Kristen kepada pemerintahan yang berkuasa. Ajaran gereja Abad Pertengahan didominasi oleh sosok Thomas Aquinas di mana ia juga menulis beberapa karya tentang perpolitikan. Ia berpendapat bahwa pemerintahan tunggal oleh raja adalah bentuk pemerintahan terbaik.[5]

Ditambah lagi kuatnya campur tangan gereja dalam setiap bidang kehidupan telah menyebabkan peradaban manusia tertinggal selama berabad-abad. Maka Reformasi Protestan yang dimulai dengan melakukan reformasi doktrin berakhir pada reformasi seluruh tatanan masyarakat.

Tokoh awal yang memulai Reformasi ini adalah Martin Luther. Bagi Luther, terdapat dua “kerajaan” yang harus dipisahkan yaitu gereja dan pemerintah. Allah memimpin gereja melalui Injil-Nya, dan memimpin dunia melalui anugerah umum-Nya.[6]

Luther menyebutnya dengan kerajaan tangan kiri dan kerajaan tangan kanan karena keduanya dipimpin oleh tangan Allah. Bagi Luther, pemerintah hadir karena dosa. Allah yang melindungi Kain dari ancaman pembunuhan, setelah ia membunuh Habel. Maka konsekuensinya, Luther merasa bahwa pemerintahan lebih bertujuan untuk mengatur orang tidak percaya ketimbang orang percaya. Pandangan lebih negatif terhadap pemerintah membuat Luther gagal memberikan kontribusi signifikan pada transformasi politik seperti yang Calvin lakukan. Ditambah lagi Luther juga menekankan passive obedience di mana orang Kristen harus rela dianiaya oleh pemerintah yang zalim.[7]

Tokoh Reformasi kedua adalah Zwingli. Senada dengan Luther, Zwingli menekankan pemisahan kekuasaan antara gereja dan pemerintah.[8]

Jadi bisa kita lihat, tokoh-tokoh sebelum Calvin belum mampu membuat terobosan berarti selain pemisahan kekuasaan.

Berbeda dengan Luther yang dikaburkan oleh konsep kejatuhan, Calvin melihat pemerintahan memiliki nilai dan fungsi sebelum kejatuhan. Calvin membuat terobosan dengan menyebut dunia sebagai “teater kemuliaan Allah”.[9]

Terobosan ini tidak hanya membebaskan wilayah-wilayah sekuler dari cengkeraman gereja namun juga membuat dunia sekuler dengan bebas memanifestasikan kemuliaan Allah. Ada beberapa tema penting dalam tulisan Calvin yang membuat sistem politiknya begitu kokoh. Pertama, pandangan positif terhadap pemerintah sebagai bagian dalam ordo penciptaan. Calvin menyebut para pemimpin sebagai “wakil-wakil Allah” yang ditetapkan Allah untuk menjaga dan mendorong penyembahan kepada Allah maupun mengatur harmoni antarmanusia agar terjadi keadilan sosial.[10]

Calvin berpendapat bahwa pelayanan dalam pemerintahan adalah panggilan paling sakral dan terhormat dari semua panggilan manusia.[11]

Kedua, doktrin mengenai kerusakan total manusia. Jika manusia dibiarkan tanpa hukum, maka pasti mereka akan terus berdosa dan mengacaukan tatanan masyarakat.[12]

Dengan masuknya dosa, pemerintah mempunyai tugas untuk melaksanakan penghakiman Allah dengan menyandang pedang bagi para pelanggar hukum.[13]

Begitu juga dengan pemerintahan yang berdosa, jika dibiarkan tanpa pengawasan maka akan menjadi korup.[14]

Ini menjadi dasar dari prinsip Check and Balance. Selain itu, Calvin juga berpendapat bahwa rakyat kadang perlu mengangkat senjata untuk melaksanakan hukuman Allah kepada pemerintahan yang korup.[15]

Ketiga, mengenai prinsip penebusan serta transformasi segala sesuatu. Pemerintahan tiran yang gagal menjalankan fungsinya akan digulingkan Allah.[16]

Calvin lebih mendukung transformasi secara damai dan progresif untuk menghindari revolusi. Calvin mendorong rakyat untuk mendoakan pemerintah karena Allah dapat mengubah hati pemimpin[17] dan agar pejabat-pejabat yang lebih rendah melakukan reformasi dan mengendalikan ketidakbermoralan para raja[18].


Republik dan Demokrasi
Terinspirasi dari Kitab Keluaran 18, Calvin lebih memilih prinsip demokrasi secara republik. Musa dan rakyat memilih beberapa perwakilan pemimpin untuk menyampaikan aspirasi mereka. Calvin menyadari bahwa selama di Mesir bangsa Israel hanya mengetahui kekuasaan mutlak seorang Firaun, jadi corak republik ini tidak mungkin berasal dari pikiran manusia.[19]

Konsep pemerintahan republik versi Israel ini adalah konsep original dalam peradaban manusia jauh sebelum bangsa Yunani mengembangkan konsep republik versi mereka. Prinsip demokrasi ditekankan Calvin dalam penggunaan hak suara di mana para perwakilan dipilih tidak hanya oleh keinginan Musa tapi oleh suara rakyat.[20]

Calvin juga belajar banyak melalui prinsip hukum Perjanjian Lama di mana dalam sebuah republik, undang-undang adalah pengikat paling penting.[21]

Namun berbeda dengan kaum theonomis maupun pendukung theokrasi, bagi Calvin hukum Perjanjian Lama tidak harus dipaksakan di semua negara.[22] Pandangan ini terlihat jelas terutama ketika Calvin melihat bahwa hukum-hukum ritual bangsa Israel sudah tidak berlaku.[23]

Tiap bangsa bebas membuat hukumnya sendiri-sendiri, asalkan hukumnya sesuai hukum kasih.[24]

Dalam aplikasinya, Calvin merekomendasikan pembatasan-pembatasan hak pejabat melalui undang-undang, misalnya batas dalam penarikan pajak[25], t

erutama agar tidak memboroskan uang rakyat untuk hidup mewah[26].

Inovasi-inovasi radikal dari Calvin lalu dieksperimenkan pada kota Jenewa dan membawa kemajuan pesat dalam kota tersebut. Jenewa sampai sekarang masih merupakan republik tertua yang masih bertahan sampai sekarang, maka tidaklah salah jika Calvin disebut perintis republik yang pertama.[27]

Prinsip-prinsip ini kemudian menyebar ke negara Eropa lain dan terutama ke Skotlandia melalui prinsip presbiterian John Knox. Skotlandia mengadopsi model gereja presbiterian yang mengalir dari keluarga, ke komunitas melalui sinode regional, lalu menuju ke wilayah nasional melalui parlemen federal sampai ke sinode internasional.[28]

Kaum Puritan yang terinspirasi calvinisme kemudian memengaruhi politik Inggris melalui traktat-traktat politik mereka sampai akhirnya mereka berhasil memengaruhi konstitusi untuk membatasi kekuasaan raja dan pemerintah pada zaman Cromwell melalui sebuah manifesto yang disebut “an agreement of people”. David Hume, seorang atheis, mengakui bahwa konstitusi Inggris berhutang pada inovasi calvinisme Puritan.[29]

Kaum Puritan Inggris kemudian membawa prinsip ini ke Amerika karena penganiayaan kaum Anglikan terhadap hak beribadah mereka. Perkembangan politik di Inggris dan Amerika agak berbeda, karena kaum Puritan Inggris yang mengalami penganiayaan lebih menekankan pemisahan kekuasaan total antara gereja dan negara, sedang prinsip Puritan Amerika sangat mirip terhadap politik Jenewa karena mereka lebih bebas berekspresi tanpa tekanan. Ditambah lagi dengan khotbah-khotbah calvinisme yang mendominasi Amerika maupun tulisan-tulisan akademis dari Harvard, Yale, dan Princeton membuat ide-ide calvinisme yang berasal dari Eropa mencapai puncaknya di Amerika.

Bisa dibilang, revolusi kemerdekaan Amerika (bahkan Indonesia dan negara-negara yang lain) secara tidak langsung berutang pada tulisan murid-murid Calvin seperti Beza dan Knox, di mana mereka mengizinkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan yang korup. Hanya dalam beberapa abad, prinsip-prinsip calvinisme tentang kovenan, demokrasi, kedaulatan rakyat, perwakilan rakyat, undang-undang, check and balance, sistem republik, dan lain-lain, mulai dipakai oleh mayoritas negara baik negara agama maupun sekuler.


Tantangan
Namun dominasi calvinisme tidak bertahan lama, zaman enlightenment telah mendorong manusia untuk mencari teori-teori alternatif di luar calvinisme. Dalam beberapa tahun terakhir orang-orang lebih tertarik pada model Revolusi Perancis yang bersumber dari teori kontrak sosial ketimbang model Jenewa yang bersumber dari Calvin. Fondasi-fondasi negara mereka yang bercorak calvinisme mulai diganti dengan paham humanistik.

Pemisahan total antara pemerintah dan gereja membuat pemerintahan kehilangan identitasnya untuk memuliakan Tuhan, selain itu posisi gereja pun ditekan sampai ke wilayah privat.

Ditambah lagi sekularisasi di segala bidang dalam dekade terakhir telah membuat lunturnya nilai-nilai calvinisme di dunia Barat.

Pajak yang dibayarkan orang-orang Kristen dengan hati tulus pada akhirnya malah digunakan untuk mendukung proses sekularisasi tersebut.

Merosotnya nilai-nilai kekristenan disertai kekalahan demi kekalahan terus dialami orang-orang Kristen di Amerika yang di mana pada tahun lalu konstitusi Amerika melegalkan LGBT.

Invasi humanisme dan sekularisme belum berhenti, usaha-usaha melegalkan praktik aborsi dengan slogan “pro-choice”, meredefinisi konsep pernikahan tradisional, penghapusan kata Tuhan dalam area-area yang strategis, serta pelunturan nilai-nilai Kristen yang lainnya terus gencar dilakukan.

David Hall menyebutkan ada lima hal yang menjadi penyebab kekalahan calvinisme terhadap sekularisme di dunia Barat.[30]

Pertama, adalah penyebaran pemikiran enlightenment dalam dunia intelektual.

Kedua, munculnya alternatif filosofis yang lebih bersifat humanistik.

Ketiga, revolusi industri yang mengubah struktur komunal keluarga tradisional.

Keempat, darwinisme yang merelativisasi nilai-nilai moral manusia.

Kelima, dominasi arminianisme di kalangan Injili yang menekankan kehidupan rohani secara pribadi sehingga individualisme dengan cepat menembus gereja.

Kekalahan demi kekalahan di panggung politik membuat Kristen kontemporer terlalu berfokus pada isu politik sehingga merelativisasi posisi institusi gereja yang menyebabkan kedangkalan kehidupan gerejawi. Ironisnya bukannya melakukan pembenahan, beberapa theolog Reformed melalui Two Kingdom Theology memilih menyerah pada sekularisme dan berfokus untuk mengembalikan kehidupan gerejawi yang sudah hancur berantakan.

Van Drunen dan kawan-kawan menganjurkan agar umat Kristen tidak ikut campur dalam politik tapi berfokus pada panggilan utamanya di gereja. Menurut mereka Allah tidak menebus seluruh ciptaan (creation regained) karena penebusan hanya dikhususkan untuk umat pilihan (re-creation gained).[31]

Salah satu paradoks dalam pemikiran Calvin adalah di satu sisi Kerajaan Allah bersifat spiritual namun di sisi lain Kerajaan Allah akan membawa transformasi total dunia. Pelarian spiritual ke dalam gedung gereja maupun usaha-usaha menciptakan negara Kristen (theokrasi) adalah kegagalan menyeimbangkan paradigma Calvin.

Di tengah gelapnya situasi politik maupun gereja, kita harus tetap percaya janji di dalam Alkitab bahwa kerajaan dunia akan berubah menjadi kerajaan Kristus.[32]

Oleh karena itu, kita perlu optimis dan memikirkan kembali langkah-langkah untuk berperang dan merebut kembali lembaga-lembaga dunia. Semoga keberhasilan Calvin dalam memengaruhi dunia dapat terus menginspirasi perjuangan politik Kristen di masa depan.

Hendrik Santoso Sugiarto
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Republic.
[2] George Brancroft, Literary and Historical Miscellanies, 1855.
[3] E. William Monter, Calvin’s Geneva, 1967.
[4] Kelly, The Emergence of Liberty in the Modern World, 1992.
[5] Paul Sigmund, St. Thomas Aquinas on Politics and Ethics, 1988.
[6] http://www.patheos.com/blogs/justandsinner/lutheran-two-kingdom-theology-is-not-escondido-theology.
[7] Klug, Sermon of Martin Luther, 1996.
[8] Walton, Zwingli’s Theocracy, 1967.
[9] Calvin, Institutes (1.5.8).
[10] Calvin, Institutes (4.20.2).
[11] Calvin, Institutes (4.20.4).
[12] Calvin, Institutes (4.20.2).
[13] Calvin, Institutes (4.20.10).
[14] Calvin, Institutes (4.20.8).
[15] Calvin, Institutes (4.20.11).
[16] Calvin, Institutes (4.20.30).
[17] Calvin, Institutes (4.20.29).
[18] Calvin, Institutes (4.20.31).
[19] Calvin, Calvin’s Commentary on Exodus.
[20] Calvin, Harmony of Moses.
[21] Calvin, Institutes (4.20.14).
[22] Calvin, Institutes (4.20.16).
[23] Calvin, Institutes (4.20.15).
[24] Calvin, Institutes (4.20.15).
[25] Calvin, Institutes (4.20.13).
[26] Calvin, Institutes (4.20.24).
[27] George Brancroft, Literary and Historical Miscellanies, 1855.
[28] Coffey, Politics, Religion, and the British Revolutions, 1997.
[29] David Hume, The history of England, 1810.
[30] David Hall, Calvin in the Public Square, 2009.
[31] Van Drunen, Living in Two Kingdoms, 2010.
[32] Wahyu 11:15.

Tinggalkan komentar