NIETZSCHE ON DIONYSIAN – RICHARD J.RAPP


Nietsche sendiri telah membuat kita sadar akan arti penting konsep tentang Dionisius dan manusia Dionisian untuk melakukan penafsiran dan pengapresiasian filsafatnya.

Karya tulis ini sendiri kemudian akan membahas tiga pertanyaan:

(1) Siapakah Dionisius itu?

(2) Peran apakah yang dimainkan oleh Dionisius di dalam filsafat Friedrich Nietsche? dan

(3) Adakah kemungkinan kesalahan di dalam presentasi Dionisius oleh Nietsche?

Kemudian, pertama siapakah Dionisius itu? Jawaban yang paling jelas atas pertanyaan ini ditemukan di dalam buku Nietsche, The Birth of Tragedy. Di dalam karya itu Dionisius dipotret sebagai mewakili sebuah dunia seni “kemabukan”, seperti dipertentangkan dengan dunia mimpi dewa Apolo untuk memahami Dionisius, penting kiranya pertama-tama memahami budaya Apolonian.

Mengikuti prosedur Nietsche, penting kiranya untuk menelusuri kebutuyan yang memunculkan dewa-dewa Olimpus Yunani dan dunia Olimpus di mana Apolo menjadi bagian khasnya.

Pertimbangan mendasar di dalam pengembangan dunia Olimpus ditemukan pada fakta bahwa masyarakat Yunani mengetahui dan mengalami teror kehidupan. Contohnya adalah kekuatan alam yang tidak terkendali.

Jika masyarakat Yunani ingin bertahan hidup, penting bagi mereka untuk menyelipkan sesuatu di antara dirinya sendiri dan kehidupan seperti terjadi sebelumnya. Penyisipan ini, sesuatu yang berada di antara, mengambil bentuk pada dewa-dewa Olimpus. “Masyarakat Yunani harus hidup dan untuk itu mereka menciptakan dewa-dewa ini.”

Barangkali kita bisa memotret proses itu pada diri kita sendiri sebagai berikug: dari tatanan kekuasaan awal oleh para dewa (thearchy) menggunakan teror tatanan kekuasaan oleh para dewa Olimpus menggunakan suka-cita secara bertahap muncul melalui dorongan Apolonian kearah keindahan, seperti kuncup bunga ros dari semak-semak berduri.

Bagaimana lagi masyarakat ini bisa, sedemikian sensitif, memiliki hasrat yang sedemikian berapi-api, sedemikian luar biasa mengalami penderitaan, bagaimana mereka bisa terus eksis, jika semua itu belum pernah ditunjukkan kepada mereka di dalam dewa-dewa mereka, yang dikelilingi dengan keagungan yang lebih tinggi? … Jadi, para dewa itu sungguh telah memberi pembenaran kehidupan manusia di mana mereka sendiri mengalami kehidupan manusia itu—satu-satunya usaha untuk mempertahankan kebaikan dan keadilan Tuhan atau para dewa menghadapi eksistensi kejahatan (Theodicy)!

Kehidupan dibuat bisa diterima untuk masyarakat Yunani, kehidupan dibuat bisa ditanggung dengan pengetahuan bahwa para dewa mereka menjalani kehidupan yang sama. Oleh karnea itu terdapat penyucian kehidupan, sebuah pemujaan terhadap semua hal apakah itu baik atau buruk. Pada tahap perkembangan Apolonian (di dalam perkembangan seni menurut Nietsche), Masyarakat yunani atau “manusia Homerik” merasa sedemikian penuh berada di rumah (at home seperti dipertentangkan dengan in a house, penerjemah) di dalam penyusian ini bahkan ratapan penyesalan sekali pun bisa menjadi lagu-lagu pujian. Apolo menjadi sebuah ilusi, sebuah lapisan penutup di atas alam seperti sebelumnya sungguh-sungguh terjadi demikian. Untuk memapankan surga di bumi ini, manusia harus lebih banyak berpikir tentang diri mereka sendiri daripada sebelumnya.

Mereka harus menjadi bagian dari sebuah dunia yang lebih tinggi. Dunia yang lebih tinggi ini merupakan cerminan citra para dewa Olimpusn. “Dengan pencerminan keindahan ini kemauan Helenik memerangi bakat yang secara artifial mampu membangun hubungan-hubungan dengan kemampuan untuk menanggung penderitaan dan untuk mendapatkan kebijaksanaan dari penderitaan itu.” Apolo adalah pengagungan “Principium individuationis.” Berkat Apolo, manusia telah ditunjukkan betapa penting dunia penderitaan itu. Berkat kesadaran manusia akan penderitaan ini, ia telah diarahkan untuk melihat visi penebusan.

Visi ini memungkinkan manusia untuk terperangkap di dalam kontemplasi di tengah-tengah dunia penderitaan.

Kemudian, di dalam dunia seni, yang menurut Nietsche juga merupakan pertimbangan keseluruhan masalah budaya, kehidupan manusia, tahap Apolonian menjadi sebuah penebusan manusia di dalam dunia penampakan-penampakan.

Seni Apolonian berusaha untuk mencapai tujuan penciptaan sebuah dunia keindahan yang menutupi kehidupan. Seni ini memiliki pengaruh penenteram pada manusia namun di dalam memberikan pengaruh penenteram semacam itu dunia seni itu memotong-pisahkan dirinya sendiri dari dunia realitas.

Kemudian, siapakah Dionisius itu dan bagaimana ia sesuai dengan teodisi ini, sifat-sifat kompleks dan pemerintahan para dewa Olimpus? Menurut Nietsche, pemberontakan Dionisius terjadi dengan cara sebagai berikut. Kebutuhan akan Dionisius, dewa anggur, muncul ketika manusia sadar bhwa pengetahuannya tentang dirinya sendiri belumlah lengkap. Kebutuhan ini muncul “ketika ia secara tiba-tiba tidak mampu memperhitungkan bentuk-bentuk kognitif sebuah fenomenon, ketika prinsip nalar … tampak menerima seubah perkecualian.” Kebutuhan ini muncul ketika dunia keindahan digoyahkan oleh kejadian-kejadian yang tidak terjawab oleh dunia Apolonian yang seperti mimpi. Dionisius muncul ketika manusia sekali lagi melihat di seberang permukaan keindahan dan moderasi (usaha untuk memperlunak) dan melihat lapisan tersembunyi pengetahuan dan penderitaan di atas lapisan tersembunyi mana keindahan dilapiskan.

Dionisius menjadi penting ketika masyarakat Yunani sadar bahwa mitos tentang Prometheus dicabik-cabik hingga berkeping-keping oleh burung-burung hering karena cintanya untuk manusia, dan mitos tentang Oedipus yang terjatuh ke dalam pusaran kejahatan karena kebijaksanaannya tentang bagaimana memecahkan teka-teki Sphinx merupakan bagian dari kehidupan mereka dan juga tuntutan-tuntutan Apolo etis akan keindahan estetik dan pengetahuan tentang diri. Masyarakat Yunani dengan perhatiannya untuk keindahan, tuntutan desa Apolo untuk “mengenali dirimu sendiri” dan akan “tak satu pun yang berlebihan”, perhatiannya untuk usaha menahan diri dan menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsi telah melupakan keadaan Dionisian.

Dionisius mendapatkan pandangan penuhnya dengan runtuhnya individu, dengan pelanggaran batas-batas. Keadaan Dionisian adalah sebuah keadaan di mana seseorang kehilangan diri, pelupaan diri bertentangan dengan “kenali dirimu sendiri.”


Pada Bagian 1 dari The Birth of Tragedy, Nietsche menjelaskan tahap Dionisian dengan cara berikut.

Berada di bawah pengaruh pesona Dionisian bukan hanya kesatuan di antara manusia dan manusia yang kembali ditegaskan, melainkan Alam yang telah menjadi terasing, memiliki tabiat bermusuhan, atau ditaklukkan, sekali lagi merayakan penyatuan kembalinya dengan putranya yang boros, manusia.

Ketika emosi-emosi Dionisian menjadi hidup, seseorang yang telah menjadi budak kedangkalan hidup tiba-tiba menjadi bebas. Hambatan-hambatan yang pernah ada di antara manusia dan manusia dirobohkan. Melalui apa yang disebut oleh Nietsche “Gospel of Universal Harmony”, Injil Keselarasan Jagad Raya, manusia menemukan dirinya berbaur dengan tetangganya dengan peruntuhan hambatan-hambatan. Melalui ekspresi pemujaan Dionisian, melalui lagu dan tari, manusia tiba-tiba menjadi anggota sebuah komunitas yang lebih tinggi daripada komunitas bumi.

Ini terjadi seolah setiap manusia telah lupa bagaimana berjalan dan tiba-tiba menemukan diri mampu terbang di angkasa. Keadaan mimpi Apolo dipahami selangkah lebih maju.

Para dewa yang ia lihat berjalan dan berbicara di dalam mimpi-mimpinya, yang ia temukan secara tiba-tiba adalah mereka yang menemaninya. Di dalam ekstasi (sensasi kegembiraan luar biasa), di dalam keterpesonaan, ia berjalan dan berbicara dengan para dewa itu. Di dalam pemujaan Dionisian manusia tidak lagi semata-mata menjadi seorang seniman yang menempatkan lapisan penutup, sebuah ilusi tentang keindahan, di atas dunia fenomenal.

Melainkan, ia sendiri menjadi sebuah karya seni. Tentu saja melalui Dionisiuslah harus ditemukan penghancuran “selubung Maya” itu sendiri. Sama seperti halnya Apolonanisme mewakili posisi di antara dunia seni dan dunia fenomena empiris, Dionisius mewakili posisi di antara dunia fenomena empiris dan kesatuan primer. Dan, menurut Nietsche, keadaan Dionisian ini tidak asing bagi manusia.

Kesadaran Apolonian inilah yang sebelumnya telah menyembunyikan dunia Dionisian dari pandangannya. Kesadaran Apoloniannya merupakan sebuah lapisan penutup yang bisa dibuang.

Sekarang kita bisa membahas pertanyaan kedua: Peran apakah yang dimainkan oleh Dionisius (dan semangat Dionisian) di dalam filsafat Friedrich Nietsche? Untuk mulai menjawab pertanyaan ini, rujukan pertama-tama harus dilakukan sekali lati pada The Birth of Tragedy. Perujukan ini penting karena dua alasan. Alasan pertama secara mengena dinyatakan oleh Nietsche di dalam karyanya Ecce Homo.

Dua inovasi yang terpilah jelas di dalam buku (The Birth of Tragedy) pertama-tama adalah pemahaman tentang fenomenon Dionisian di antara masyarakat Yunani—untuk pertama kali, pemahaman ini menawarkan sebuah analisis psikologis tentang fenomena ini, dengan memandangnya sebagai basis tunggal semua seni Yunani.

Alasan kedua memiliki arti penting yang lebih tinggi. Menurut Nietsche, tampak bahwa filsafat merupakan esbuah bentuk seni. Benarlah kiranya hal ini, jika kita memahami maksud filosofis Dionisius, pertama-tama kita harus memahami hubungannya dengan seni. Pemikiran ini memerlukan pembenaran dan daya tarik sekali lagi diberikan pada kata-kata Nietsche di dalam Ecce Homo. Nietsche menulis:

Persetujuan untuk perubahan dan penghancuran terus-menerus segala hal, elemen menentukan di dalam filsafat Dionisian; persetujuan untuk kontradiksi dan perselisihan, gagasan tentang proses menjadi (Becoming), bahkan bersama dengan penolakan radikal terhadap konsep Mengada (Being)—segala hal, pada semua kejadian, memaksa saya untuk memahami dirinya yang sampai sekarang ini memiliki daya gabung erat dengan pemikiran saya. Doktrin “Pengulangan Abadi”—maksudnya, pengulangan siklis abadi dan absolut segala hal—juga bisa dipahami….


The Birth of Tragedy di dalam pengertian ini kemudian bisa dipahami sebagai kelahiran kembali tragedi, kembalinya musik Dionisian. Melalui Kemauan untuk Berkuasa, Zarathustra bisa mendekati kebangkitan kembali semangat Yunani. Ini membutuhkan manusia Dionisian.

Mari kita lihat peran yang dimainkan oleh Dionisian di dalam kelahiran tragedi. Dikatakan secara mendasar, Apolo mewakili seni patung. Dionisius, di sisi lain, mewakili seni musik. Bagian terpenting yang harus dipahami adalah jembatan yang memawa seseorang pada seubah pemahaman tentang penyair tragis di mana Dionisian adalah contohnya.

Menurut Nietsche, jembatan itu ditemukan di dalam “persetujuan untuk kehidupan”,– persetujuan bahkan untuk masalah-masalah kehidupan yang paling asing dan paling sulit.

Pada Bagian 5 dari The Birth of Tragedy Nietsche menjelaskan langkah-langkah yang diambil oleh penyakir lirik. Manusia Dionisian mulai dengan menyamakan dirinya sendiri dengan kesatuan primer. Musik yang dihasilkan oleh seorang penyair merupakan sebuah “pengulangan” atau “pencetakan kembali dunia.” Dengan kata lain, penyair menghasilkan salinan kesatuan primer dengan kesatuan mana ia telah menyamakan dirinya di dalam bentuk musik.

Kemudian muncullah tahap ketiga. Di bawah pengaruh keadaan mimpi Apolonian, musik menciptakan gambaran mimpi simbolik pada manusia Dionisian. Gambaran ini menunjukkan kesamaan seniman dengan kesatuan primer.

Gambaran ini merupakan sebuah babak mimpi yang mewujudkan elemen Dionisian persetujuan untuk kehidupan dan penampakan mimpi Apolonian. Contoh Nietsche sendiri barangkali merupakan ilustrasi terbaik tentang gambarannya tentang penyair lirik ini.

Oleh karena itu, sang “aku” dari penyair itu bersuara dari keadalaman pengadanya (being): “subjektivitasnya”, di dalam pengertian estetikus moderen, merupakan imajinasi murni. Ketika Archilochus, penyair Yunani pertama, memberitahu para anak perempuan Lycambes tentang cinta butanya dan rasa jijiknya, bukanlah gairahnya sendiri yang menari di hadapan kita di dalam kegilaan pesta-pora; namun kita lihat Dionisius dan Maenads, kita lihat Archilochus yang mabuk dan bersukar-ria tenggelam di dalam tidur—seperti dijelaskan oleh Euripides di dalam Bacchae, tidur di atas padang rumput gunung tinggi, di bawah terik matahari tengah hari. Dan sekarang Apolo mendekati dan menyentuhnya dengan pohon salam. Kemudian keterpikatan Dionisus musikal sang penidur tampak memancarkan busar, puisi-puisi liris, yang di dalam bentuk tertingginya disebut tragedi dan ekspresi puitis tidak teratur (dithyrambs) dramatik.

Singkatnya, tiga tahap itu terlihat:

(1) ekstasi (sensasi kegembiraan luar biasa),

(2) salinan musikal dari kemauan, dan

(3) proyeksi ke dalam sebuah gambar, maksudnya, seubah puisi. Pada dasarnya, puisi liris tumbuh dari kesatuan manusia Dionisian dengan kesatuan primer. Prosedur dasar yang smaa yang telah diamati di dalam puisi liris, menurut Nietsche, juga bisa diamati di dalam “lagu-lagu rakyat” kuno seperti lagu-lagu rakyat yang diperkenalkan di dalam sastera oleh Archilochus. Periode-periode yang kaya akan lagu-lagu rakyat, menurut teori ini, telah menjadi periode-periode yang paling keras digerakkan oleh budaya Dionisian.

Tentu saja, Dionisian adalah substratum, prasyarat lagu rakyat seperti sebelumnya untuk puisi liris. Pada kedua kasus itu sangat penting kiranya mencatat bahwa musik, melodi adalah perimer. Setelah musik, yang merupakan cerminan dari kesatuan manusia dan kesatuan primer, muncullah kata. Dan kata-kata, bahasa sebagai simbol-simbol fenomenon semata tidak pernah bisa menangkap makna dan gambaran penuh dari musik. “Bahasa, di dalam usaha untuk menirukan musik, hanya bisa berhubungan secara dangkal dengan musik.”


Aspek terakhir dari The Birth of Tragedy yang harus dipertimbangkan di sini adalah asal-usul tragedi Yunani itu sendiri. Keseluruhan tujuan tragedi, seperti yang dipahami oleh Nietsche, adalah untuk memberi manusia budaya Yunani peluang untuk merasa “dinetralkan” di dalam kehadiran para partisipan di dalam tragedi itu, yakni, mereka yang bersifat satiris. Pengaruh tragedi Dionisian adalah bahwa kesenjangan di antara negara dan masyarakat dan di antara manusia dan manusia membuka jalan untuk merasakan kesatuan. Sebelum konsep ini dilanjutkan, pertama-tama harus diketahui dengan pasti mengapa manusia budaya memerlukan paduan suara, tragedi untuk mempengaruhi perasaan kesatuan itu.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, di dalam ekstasi (sensasi kegembiraan luar biasa) yand dimunculkan di dalam keadaan Dionisian, manusia mampu melampaui ikatan-ikatan atau batas-batas biasa eksistensinya sendiri: ia mampu terbang bersama para dewa. Namun saat ketika ekstasi Dionisian itu berarkhir, manusia sekali lagi sadar akan dunia realitas keseharian.

Bahwa dunia adalah “memuakkan dan menjijikkan”. Buah dari keadan-keadaan ini adalah apa yang dijelaskan oleh Nietsche sebagai “suasana hati yang menidakkan kemauan asketik”. Manusia Dionisian disamakan dengan Hamlet.

Keduanya telah menyibak lapisan penutup dan memandang sifat-sifat yang sesungguhnya dari segala sesuatu. Namun setelah memandang yang nyata, yang sesungguhnya, sulit bagi mereka untuk bertindak karena mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untukmerubah sifat-sifat abadi segala sesuatu itu.

Di dalam kesadaran tentang kebenaran yang telah dipahami, manusia sekarang memandang di mana pun tempat hanya teror atau absurditas eksistensi; sekarang ia bisa memahami simbolisme nasib Ophelia; sekarang ia bisa menyadari kebijaksanaan dewa hutan Silenus: dan ia dipenuhi dengan kebencian.

Persis pada titik inilah, menurut Nietsche, seni muncul sebagai instrumen yang mampu merubah refleksi-refleksi absolut teror eksistensi menjadi gambar-gambar dengan gambar mana manusia bisa hidup. Mengulang kata-kata Nietsche, yang mengerikan ditaklukkan oleh yang seni dan ketrampilan.

Menurut Nietsche, tragedi Yunani, dipahami dengan cara ini. Seni ini terdiri dari tiga elemen: kor Dionisian, dunia gambar Apolonian, dan penonton. Chord Dionisian, atau bagian-bagian Chord dari sebuah tragedi, merupakan kenangan masa di mana tragedi menjadi kor saja. Gambar Dionisian atau dunia panggung adalah drama yang merespon pemberian isyarat kor itu. Di dalam ledakan-ledakan selanjutnya, Chord itu sekali lagi dan sekali lagi memproyeksikan dirinya pada tahap Apolonian. Namun hasil dari proyeksi itu bukanlah penampakan penebusan Apolonian, hasil poryeksi itu merupakan “perwujudan Apolonian persepsi dan pengaruh Dionisian.”

Menurut pandangan ini, menurut Nietsche, Dionisius adalah pahlawan panggung dan fokus pandangan audiens. Ini terutama benar ketika tragesi hanya menjadi kor. Kor menghasilkan seubah visi tentang Dionisius melalui simbolisme musik, tarian dan tuturan.

Namun demikian, dengan berlalunya waktu, ada upaya untuk melakukan personifikasi para dewa, Dionysius, dengan memiliki karakter di atas panggung mendapatkan peran dewa.

Ini merupakan awal dari drama di dalam pengertian sempit kata itu. Pada tahap perkembangan ini, kor dipersilahkan untuk membangkitkan benak audiens dengan kegilaan Dionisian sehingga ketika tokoh yang mewakili Dionisius menapaki panggung, aktor tidak lagi menjadi seorang aktor, melainkan seorang “figur khayalan” yang diciptakan oleh ekstasi audiens. Oleh karena itu:

Tanpa sengaja, ia (penonton) memindahkan gambaran dewa secara keseluruhan, merasa gugup di hadapan jiwanya, ke tokoh bertopeng dan memisahkan realitasnya seperti sebelumnya ke dalam sesuatu yang bukan kenyataan (unreality). Ini merupakan keadaan mimpi Apolonian, di mana dunia siang tertutup, dan dunia baru, yang lebih jelas, lebih bisa dipahami, lebih gamblang dan lebih berbayang-bayang daripada dunia lama dilahirkan dan dilahirkan kembali oleh perubahan abadi di hadapan mata kita … bahasa, warna, kelenturan dan gerakan dialog terpisah menjadi dua dunia ekspresi yang sama sekali berbeda, menjadi lirik kor Dionisian di satu sisi, dan dunia mimpi Apolonian tentang babak itu di sisi yang lain.

Namun demikian, konsep tentang Dionisius dan manusia Dionisian tidak berarti terbatas pada buku, The Birth of Tragedy. Di sanalah tersisa pembahasan pendek tentang implikasi dewa ini di dalam tulisan-tulisan Nietsche yang lain. Pertimbangan-pertimbangan ini bisa didekati dengan kembali kepada kata-kata Nietsche yang sebelumnya telah disebut ketika kata-kata itu muncul di dalam bukunya, Twilight of the Idols: “… di dalam misteri Dionisian … persetujuan Ya yang berjaya untuk kehidupan sebagai kelanjutan menyeluruh dari kehidupan melalui prokreasi (proses menghasilkan keturunan), melalui misteri-misteri seksualitas.

Menurut pandangan Nietsche, seks (simbol seksual), adalah kualitas nyata dan menyolok di dalam kesalehan Yunani kuno. Seks (simbol seks) adalah hakekat simbol itu sendiri.” Setiap aspek tindakan seksual membangkitkan perasaan tertinggi manusia yang bisa dihubungkan dengan dewa, Dionisius. Di dalam misteri tentang pemujaan, rasa sakit merupakan kesucian yang telah dinyatakan.

Oleh karena itu, seorang perempuan yang sedang melahirkan mensucikan rasa sakit, mensucikan proses menjadi (becoming) dan tumbuh. “Semua yang menjamin masa depan melibatkan rasa sakit.” Kesenangan ditemukan pada fakta penciptaan itu sendiri, bahwa kemauan kehidupan bisa dilahirkan secara abadi. Seperti halnya terdapat kesenangan di dalam penciptaan, demikianlah juga secara alami harus terjadi penderitaan mendalam seorang perempuan yang sedang melahirkan. Inilah apa yang dimaksud oleh Nietsche dengan Dionisius.

Dionisius adalah insting menonjol kehidupan yang diarahkan pada masa depan kehidupan yang dipahami secara seksual. Keabadian kehidupan merupakan sebuah pengalaman meeka yang religkus. “Jalan suci” agama ini adalah prekreasi (proses menghasilkan keturunan). Jalan suci itu adalah Kristianitas yang pada kenyataannya merupakan sebuah kebencian terhadap kehidupan (negasi atau penidakan) yang membuat anggapan awal tentang Dionisius ini menajdi tidak bersih, kotor. Berdiri melawan kecenderungan-kecenderungan nihilistik Kristianitas ini adalah manusia yang berkata “ya” untuk semua kehidupan, bahkan di dalam masalah kehidupan yang paling sulit dan paling asing. “Dengan berkata Ya untuk kehidupan bahkan di dalam masalah-masalah kehidupan yang paling asing dan paling sulit, kemauan untuk kehidupan kembali bergabung dengan kemampuannya untuk tidak terkuras, selalu ada bahkan dengan mengorbankan tipe-tipe tertingginya—yang adalah apa yang saya sebut Dionisian ….” Lebih jauh, tampak bahwa masalah besar Nietsche, yakni, doktrin Pengulangan Abadi, Kemauan untuk Berkuasa, Transvaluasi semua nilai, dan Uebermensch semuanya memiliki konotasi dan evaluasi terhadap Dionisian. Karena ruang-lingkup monumental pokok bahasan ini, hanya petunjuk yang paling jelaslah yang bisa diberikan tentang arti penting Dionisian di dalam bidang-bidang ini. Kesalingterkaitan dan kesalingtergantungan berbagai topik ini barangkali bisa dilihat di dalam kutipan singkat berikut dari Thus Spake Zarathustra, Beyond Good and Evil, and Twilight of the Idols. Di dalam pendahuluan untuk Thus Spake Zarathustra, Nietsche dikutip oleh istrinya sebagai mengatakan:

Saya hanya tertarik pada hubungan-hubungan sebuah masyarakat dengan usaha untuk mengasuh manusia individual, dan di antara masyarakat Yunani kondisi-kondisi tersebut luar biasa mendukung untuk perkembangan individual; bukan dengan cara meminjam kebaikan masyarakat, melainkan karena perjuangan insting-insting jahat mereka.

Manusia individual yang oleh karena itu dirujuk di dalam Pendahuluan itu tidak bisa diterapkan, kecuali pada Uebermensch, yang menurut Nietsche merupakan “makna bumi.” Pada bagian ketiga dari karya yang sama, penulis mendorong saudara-saudara laki-lakinya untuk tetap jujur pada dunia. Di dalam usaha untuk tetap jujur pada bumi, dengan terpaksa mereka harus menolak semua konsep tentang harapan super-duniawi, sebuah harapan yang diangkat oleh iman Kristen “yang telah mengalami kemerosotan”. Mereka yang mau menolak dunia dan memilih dunia lain di seberang dunia ini menjadi “tahanan”.

Kemudian, di dalam Beyond Good and Evil terdapat pemikiran ini yang berhubungan dengan pemikiran terdahulu. Nietsche mengajukan gagasan bahwa tidak ada sesuatu yang lain yang diberikan kepada kita sebagai nyata kecuali dunia hasrat dan gairah. Lebih jauh dikemukakan bahwa  di dunia realitas kita tidak bisa naik atau tenggelam memasuki realitas yang lain.

Hanya terdapat realitas dorongan-dorongan itu. Oleh karena itu, “Dunia yang dipandang dari dalam, dunia yang didefinisikan dan dirancang sesuai dengan ‘karakter yang bisa dipahami’—duni itu hanyalah ‘Kemauan untuk Berkuasa’ dan sama sekali bukan sesuatu yang lain. Masih di dalam konteks umum yang samakesimpulan inilah yang telah dicapai di dalam Twilight of the Idols. Di dalam dalil keempat bagian ini, “Reasonin Philosopy, Nietsche tidak menyisakan keraguan bahwa perbedaan di antara dunia yang sesungguhnya, dunia dorongan, dunia hasrat (seksual), dan sebuah dunia “yang jelas” seperti dunia yang dikemukakan oleh Iman Kristen atau dunia Kristen yang tersamar menurut Nietsche hanyalah sebuah contoh kemerosogan, “sebuah simptom penurunan kehidupan.” Selanjtunya ia berkata, dan ini merupakan aspek penting yang dipertimbangkan, “Seniman tragis bukanlah orang yang pesimis: persisnya ia adalah orang yang berkata Ya kepada sesuatu yang dipertanyakan, bahkan untuk yang mengerikan—ia adalah Dionisian.”

Dan akhirnya, lebih jaun di dalam Twilight of the Idols, ketika ia berbicara tentang Goethe, Nietsche berkata bahwa ketika seorang manusia berdiri bebas, maksudnya, ketika ia mampu berkata “ya” untuk kehidupan, untuk sesuatu yang mengerikan, ia mampu berdiri di dunia ini dengan suka-cita dan fatalisme percaya (trusting fatalism). Manusia ini ditebus dan ditegaskan sebagai seorang manusia penuh. “… ia tidak menegasikan lagi. Namun demikian imah semacam itu adalah yang tertinggi dari semua iman yang mungkin: Saya telah membabtisnya dengan nama Dionysius.”

Berdasarkan pada apa yang telah dijelaskan di atas, dua pertanyaan pertama, “Siapakah Dionisius itu?” dan “Peran apakah yang dimainkan oleh Dionisius di dalam filsafat Friedrich Nietsche?” telah dijaawb, meskipun tidak mendalam, paling tidak dengan kejelasan yang cukup untuk memungkinkan kita berpindah ke pertanyaan ketiga dan terakhir: “Adakah kemungkinan kesalahan di dalam interpretasi tentang Dionisius oleh Nietsche?”  Apakah filolog, filosof, Friedrich Nietsche telah salah memahami peran historis dan religius Dionisius dan pemujaan yang telah berkembang di seputar dirinya? Bahkan untuk mulai menjawab pertanyaan ini, penting kiranya untuk menyusun sebuah sketsa awal tentang “kehidupan” dewa ini, Dionisius.

Seperti dikemukakan oleh H. J. Fose di dalam bukunya, Gods and Heroes of the Greeks, Dionisius “memiliki mitologi yang sangat bisa dipahami”. Memahami hal ini, hanya penampakan yang paling umum yang disepakati oleh mayoritas para sarjana yang akan dikumpulkan sebagai pembuka untuk apa yang muncul setelah itu.

Kelahiran Dionisius, dewa terakhir dari para dewa yang harus memasuki Olimpus, dibagi menjadi dua bagian. Pada awalnya, Dionisius (Zagreus) adalah anak Zeus dan Persephone. Menurut mitos Orphik, Titan, musuh Zeus, menipu Dionisius menggunakan cermin dan mainan-mainan lain sampai akhirnya Dionisius merubah dirinya sendiri menjadi seekor sapi jantan. Setelah itu, Titan melompat  pada Dionisius, melahap dagingnya dan hanya menyisakan jantungnya.

Jantung itu diselamatkan oleh dewi Athena dan di bawah kepada Zeus yang menelannya. Titan yang telah menghancurkan Dionisius selanjutnya dihancurkan oleh Zeus dengan halilintar.

Dari abu-abu yang tersisa muncullah umat manusia. Oleh karena itu, umat manusia dipahamni sebagai baik dan buruk. Terdapat kebaikan Dionisius yang telah dicabik-cabik hingga berkeping-kebing dan telah kembali ke bumi, dan terdapat kejahatan yang diwakili oleh Titan. Tentu saja ini merupakan pembahasan Orphik tentang kejahatan di dunia ini.

Tahap kedua dari perkembangan mitos yang berhubungan dengan kelahiran Dionisius terjadi ketika Zeus berteman dengan dewi Thebian, Semele. Oleh karena itu, Dinosius menjadi satu-satunya dewa yang orang tuanya bukanlah dewa. Kematian ibunya, Semele, belakangan memainkan peran penting di dalam karakter Dionisius dan penting untuk disebutkan di sini.

Zeus, yang jatuh cinta tergila-gila pada Semele, menawarkan kepadanya apa pun yang ia inginkan. Keinginannya, yang ditanamkan pada dirinya oleh dewi jahat Hera, adalah melihat Zeus di dalam seluruh keagungannya sebagai Raja Langit yang dipersenjatai dengan halilintar.

Zeus tahu bahwa ini akan menjadi akhir dari Semele karena tak seorang pun diijinkan melihatnya dengan seluruh kekuatan dan kekuasaannya. Namun ia telah bersumpah kepada Styx untuk memberinya apa saya yang ia inginkan dan setelah itu ia menampilkan diri dan Semele meninggal.

Namun demikian, menurut mitos ini Dionisius ridu akan ibunya yang tidak pernah ia lihat dan akhirnya melakukan perjalanan menurun memasuki dunia bawah. Di sana ia menantang kekuasaan kematian yang tidak menerima tantangannya. Setelah mencari isi perut dunia bawah tanah, Dionisius menemukan ibunya dan membawanya pergi. Ia membawanya, bukan ke bumi, melainkan ke Olimpus di mana para dewa mengijinkan menerimanya.

Ia adalah makhluk hidup biasa, namun demikian ia adalah ibu dewa dan oleh karena itu pantas tinggal bersama dengan mereka. Seperti bisa dilihat selanjutnya, pembahasan tentang Dionisius memiliki pengaruh luar biasa besar pada para pengikutnya. Praktis semua komentator tentang pemujaan Dionisius sepakat bahwa ia adalah dewa pertama masyarakat Thracian (penduduk Thrace, yang terletak di bagian timur semenanjung Balkan). Rute persis dan waktu kapan pemujaan Dionisius ini memasuki Yunani pusat tidak bisa ditunjukkan secara tepat dengan derajat akurasi tertentu.

Hampir tidak ada keraguan bahwa di antara masyarakat semi-barbar Thrace dan Yunani pemujaan Dionisius itu dilakukan di dalam sebuah pesta pora gila-gilaan. Aspek Dionisius ini direfleksikan dengan jelas oleh Moore.

… Tuhan yang gila memiliki para pemuja yang gila, khususnya para pecandu perempuan, Maenads, yang berkelana di malam hari di gunung-gunung, mengacung-acungkan obor, berkumpul melingkar menari liar, berteriak keras-keras menyebut nama dewa, memunculkan kegilaan Bacchic (mabuk berlebihan dan bersenang-senang); binatang buas yang masih hidup dikoyak-koyak satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, daging hidup gemetar dengan darah yang masih mengalir dilahap secara menakutkan—“

Praktis, penjelasan yang sama diberikan oleh semua komentator Dionisius. Pemujaan Dionisius menghasilkan permainan yang lebih bebas untuk elemen emosional. Tentang hal ini tidak terdapat keraguan. Melalui penciptaan mitos kuno, dengan minum, menari, berteriak, mengoyak daging, pesta pora kedewaan menguasai para pengikut melalui kegilaan mana ia merasa bahwa ia seketika itu juga bersama dengan dewa. Jika kualitas emosional hasrat adalah segala yang bisa dikatakan untuk itu, hampir tidak diragukan bahwa tidak ada kritik yang mungkin terhadap penafsiran Nietsche dan manfaat Dionisius serta manusia Dioisian. Namun demikian, ada dua pemikiran yang bisa dikemukakan untuk mempertanyakan penafsiran yang telah diberikan oleh Nietsche.

Pemikiran pertama berhubungan dengan sifat-sifat Dionisius, dewa anggur, itu sendiir. Anggur, menurut masyarakat Yunani, menyimbolkan dua hal:

(1) kemabukan (yang akan dibahas secara singkat), dan

(2) kehidupan serta kematian. Anggur, tidak seperti sesuatu yang lain yang berbuah, tidak dipangkas seperti tumbuhan yang lain. Di musim dingin anggur merupakan sesuatu yang mandul untuk dilihat. Potongan cabang-cabangnya tampak seolah tidak bisa tumbuh dan kembali hidup.

Dionisius meninggal dengan datangnya musim dingin. Kematiannya adalah kematian yang mengerikan seperti dipotret sebagai terkoyak sampai mati oleh Titats. Namun setiap musim semi ia kembali hidup. Edith Hamilton, di dalam bukunya, Mytholoty, mengemukakan bahwa suka-cita kebangkitan ini adalah apa yang dirayakan di dalam teater. Harold Willoughby, di dalam bukunya, Pagan Regeneration, bahkan bergerak sedemikian jauh mengemukakan bahwa Dionisius adalah “dithyrambus”, yang menurut masyarakat Yunani berarti (demikian ia kemukakan), “ia yang memasuki kehidupan melalui pintu ganda.” Namun demikian, Miss Hamilton menekankan bahwa gagasan tentang kematian mengerikan Dionisius tidak pernah dilupakan. Oleh karena itu, Dionisius tidak hanya merupakan dewa yang menderita, ia adalah dewa yang tragis yang dicontohkan di dalam tragedi itu.

Karena Nietsche sedemikian banyak memberikan perhatian pada peran yang dimainkan oleh Dionisius di dalam “kelahiran tragedi”, barangkali sangat bermanfaat membahas sedikit lebih jauh  pandangan Miss Hamilton tentang tragedi ini. Menurut pandangan ini, teater adalah tempat di mana Dionisius dihormati, bukan di candi, atau di lapangan, atau di lereng gunung. Upacara yang dilekatkan pada Dionisius adalah drama. Ia menulis:

Puisi terbesar di Yunani, dan di antara yang terbesar di dunia, telah ditulis untuk Dionisius. Penyair yang menulis drama, para aktor dan para penyanyi yang ambil bagian di dalam drama itu, semuanya dipahami sebagai para pelayat dewa. Pertunjukan menjadi sakral; para penonton juga bersama para penulis dan pemain terlibat di dalam tindakan pemujaan.

Namun sebuah kritik karya Nietsche The Birth of Tragedy bukanlah apa yang dibahas didalam karya tulis ini kecuali secara tidak langsung ketika kritik itu berisi sifat-sifat Dionisius. Implikasi dewa tragis yang setiap tahun meninggal dan dibangkitkan kembali, yang menghasilkan pemikiran kedua untuk mempertanyakan penafsiran Nietsche sekarang harus dianalisis.

Di dalam agama-agama tipe ini sangat alami kiranya mengalihkan aktivitas dewa pada manusia yang masih hidup. Jika Dionisius, dewa anggur, dewa alam, bias mati dan kembali hidup, mengapa tidak mungkin terjadi padab manusia? Bahwa harapan kehidupan masa depan bias diukur di dalam pengertian harapan supra duniawi dan bukan di dalam pengertian pemikiran Nietsche tentang Kemauan untuk Berkuasa, Pengulangan Abadi, dan Uebermensch, sekarang harus ditunjukkan. Sejauh bisa ditentukan, masyarakat Thracian dan the reeks percaya pada tipe Hades atau dunia bawah.

Menurut masyarakat Yunani, Hades diwujudkan oleh beberapa jenis keberadaan seperti hantu berbayang-bayang di mana mereka yang telah mati hidup sebagai makhluk yang samar dan tidak bisa dilihat dengan jelas. Menurut masyarakat Yunani, satu-satunya harapan untuk mengatasi eksistensi yang tidak jelas setelah kematian semacam itu adalah melalui partisipasi di dalam sifat-sifat kedewaan. Bukan hanya untuk pada dewa Olimpian secara keseluruhan pada mereka mereka berpaling untuk mendapatkan tipe ketenteraman ini.

Kepercayaan bahwa jiwa terus hidup setelah kematian pertama-tama menajdi bagian dari kepercayaan kepada dewi Persephone yang seperti Dionisius juga bangkit dari kematian setiap musim semi. Namun dengan berkuasa sebagai ratu dunia bawah  ia membawa implikasi-implikasi  yang asing dan mengagumkan bersamanya. Bagaimana seseorang yang berhubungan dengan kematian bisa menjadi sumber keabadian? Dionisius, di sisi lain, tidak pernah berhubungan dengan kerajaan kematian kecuali saat tertentu yagn telah disebutkan di atas ketiak ia menyelamatkan ibunya dari bayang-bayangnya dan membawanya ke Olimpus. Dionisius, kemudian dengan sangat sederhana, menajdi harapan akan kebangkitan kembali menuju sebuah kehidupan yang baru.

Menurut Miss Hamilton, Dionisius menajdi pusat kepercayaan pada keabadian. Moore mengungkapkan kepercayaan yang sama ketika ia menulis: “Pengalaman kesatuan dengan Dionisius, antusiasme Bacchik, oleh karena itu mendapatkan sebuah nilai baru; pengalaman itu merupakan ketenteraman mendapatkan berkat abadi.” William Chase Greene, di dalam bukunya, Miora, mencapai kesimpulan umum yang sama seperti kesimpulan-kesimpulan yang telah dinyatakan di atas.  Di dalam bab yang berjudul “Ortodoksi dan Mistisisme”, Greene mengemukakan bahwa Dionisius menemukan jalan memasuki Yunani dan memusatkan perhatian pada pahatan-pahatan alami manusia untuk pembebasan dari ikatan-ikatan dunia fisik. Melalui anggur, melalui tarian ortiastik, manusia kembali memerangkan kematian dan kelahiran Dionisius yang menurut merkea tidak hanya menyimbolkan kematian dan kelahiran kembali alam, melainkan juta harapan akan keabadian manusia.

Perhatian singkat sekarang harus diberikan pada elemen orgiastik. Teradapat dokumentasi bahwa upacara-upacara Bacchic berhubungan  dengan pemujaan Dionisius, –minum, menari, makan daging, dsb., merupakan sesuatu yang jauh lebih dari sekedar emosionalisme fisik kasar.

Martin Uilsson, di dalam bukunya, The Dionysiac Mysteries of the Hellenistic and Roman Age, menulis: “Kehidupan lain dipotret sebagai kesuka-riaan Bacchic. Konsep  yang sangat materialistik ini seperti dikatakan oleh Cumont tidak terangkat… melainkan masa selama waktu yang panjang cenderung pada konsep materialistin itu.” Pendapat lebih lanjut dari Nilssonlah bahwa manusia secara insting takut akan kematian dan menurut banyak masyarakat Yunani, pemujaan Dionisian menentramkan mereka dari ketakutan itu dengan “kedamaian yang dijanjikan dari sebuah perjamuan abadi.” Cumont mengemukaan bahw aanggur dan kemabukan yang berhubungan dengan pemujaan Dionisius merupakan sarana dengan sarana mana masyarakat Yunani memperkuat pemahaman mereka tentang keabadian. 

Ia menulis: “Kemabukan … dicari sebagai kepemilikan kedewaan, sebagai penempatan dewa di hati Bacchantes. Oleh karena itu, anggur menjadi hakikat minuman keabadian, … cairan yang cepat memabukkan tidak hanya memberi kekuatan kepada tubuh … melainkan kekuatan untuk memerangki roh jahat dan untuk berjaya atas kematian.” Cumon selanjutnya mengemukakan, dengan sangat tegas bahwa kemabukan merupakan sebuah rasa awal dan jaminan kebahagiaan yang disajikan untuk para partisipan di dalam pemujaan Dionisius. Harold R. Willoughby, di dalam bukunya, Pagan Pregeneration, menawarkan penjelasan  yang hampir sama tentang aspek-aspek pemujaan Dionisius.

Namun demikian, Willoughby menambahkan satu pemikiran menarik berhubungan dengan tindakan mengoyak dan memakan daging.

Pendapat Willoughby adalah bahwa binatang  yang dikoyak dan dimakan oleh para pemuja sesungguhnya mengandung inkarnasi dewa. Dengan memakan daging, mereka menerima dewa itu. Jika mereka oleh sebab itu disatukan dengan dewa mereka di dalam kehidupan, mereka percaya mereka tidak bisa dipisahkan dari dewa itu di dalam kematian. Willoughby oleh karena itu menyimpulkan:

Jadi, pengalaman emosional luar biasa yagn dikembangkan oleh upacara-upacara Dionisian, kemabukan akibat anggur atau tarian, pesta pora mereka yang gila, hadian kedeawan berupa kemampuan untuk meramal atau kekuatan kerja ajaib—terdapat lebih dari sekedar bukti kerasukan dewa.

Mereka adalah rasa awal dan ketenteraman kehidupan masa depan yang diberkati. Oleh karena itu, di dalam emosionalisme fisik kasar ekstasi Bacchic, para pemuja dewa anggur menemukan pengalaman kelahiran baru yang memberi mereka keabadian yang membahagiakan.

William Chase Greene selanjutnya mengemukakan bahwa  versi Orphic dari mitos Dionisian adalah tidak bisa diukur di dalam hal pengaruh yang ia miliki terhadap filsafat dan mistisisme Yunani. Apakah itu baik atau buruk, demikian ia mengatakan, sifat-sifat manusia dicap sebagai dualistik. Manusia bersifat spiritual dan fisik. Ia baik dan juga jahat.

Menurut sifat-sifat sisi jahatnya, manusia ditakdirkan menjalani sebuah kehidupan penuh penderitaan. Satu-satunya harpaan yang ia miliki berada di dunia yang akan datang. Ada satu lagi kutipan yang harus digunakan di sini untuk mendukung gambaran dionisius. Kutupan ini diambil dari karya Edith Hamilton Mythology. Tentu saja Nietzche akan menolak contoh ini sebagai mengilustrasikan penekanan Sokratisme. Biar pun demikian mungkin terjadi, contoh ini memiliki makna sebagai penjelasan akhir.

Sekitar tahun 80 setelah Masehi, seorang penulis beasr Yunani, Plutarch, menerima kabar, ketika ia jauh dari rumah, bahwa seorag anak perempuannya telah meninggal—seorang anak yang berperangai lembut, demikian ia menulis. Di dalam surat untuk istrinya, ia berkata: “Tentang apa yang telah kamu dengar, jantung-hatiku, bahwa jiwa yang pernah terpisah dari tubuh menghilang dan tidak merasakan apa pun, saya tahu bahwa kamu tidak percaya pada pendapat semacam itu karena janji-janji sakral yang diberikan di dalam misteri Bacchus yang kita ketahui bersama sebagai anggota dari persaudaraan keagamaan semacam itu.

Kita mempercayai kuat-kuat kebenaran bahwa jiwa kita tidak akan rusak and abadi. Kita harus berpikir (tentang kematian) bahwa mereka pergi ke tempat yang lebih baik dan memasuki kondisi yang lebih bahagia. Marilah kita sendiri berperilaku demikian, menata hidup kita sendiri ke arah luar, sementara di dalam akan menjadi lebih murni, lebih bijaksana, dan tidak mengalami kerusakan.

Jika komentar tentang makna Dionisius di atas mengandung kepercayaan atau apa, tampak bahaw Nietsche belum sama sekali mendasarkan kepercayaan Dionisiannya, manusia Dionisiannya pada dewa Dionisius. Apa yang dikemukakan awalah bahwa manusia Dionisian bukan semata-mata “pengucap kata setuju” untuk kehidupan, jika perlu.

Manusia Dionisian adalah manusia yang tidak hanya mencari harapan duniawi, kenyamanan duniawi, namun juga kenyamanan supra duniawi. Jika asumsi ini benar bahwa para pengikut pemujaan Dionisius mencari transendensi yang berlangsung selamanya di dalam kebangkitan kembali Dionisius, kepercayaan Dionisus akan menjadi terbuka untuk kritik yang sama seperti kritik yang ditawarkan oleh Nietsche terhadap Kristianitas dan Budhisme. Yakni, kepercayaan Dionisian akan menjadi rusak, mengalami penurunan, dan merupakan negasi kehidupan. Bahkan jika kita terus mengguankan kerangka kerja penjelasan Nietsche tentang hasrat Dionisien, yakni, kemabukan, menari, menyanyi, perpesta-pora dan bahkan seksualitas, yang sangat dipertanyakan, paling tidak berdasarkan pada penjelasan di atas, bisakah semua ini semata-mata diasingkan pada tindakan menyetujui kehidupan?

Jika demikian, kemudian ikatan-ikatan profetik Israel kuno dan banyak mistikus Kristen yang memunculkan visi menggunakan cara yang sama, yakni obat, minuman alkohol,  pesta-pora bernyanyi dan menari kuga menjadi “para pengucap persetujuan”, bukan ekspresi yang mungkin dari penurunan.

Bahkan “hakikat” simbol  menurut Nietsche, simbul seks, tidak dengan mudah dijawab di dalam pengertian hasrat semata ketika dipertimbangkan di adlam dunia agama. Sir James Frazer, di dalam karya terkenalnya Adonis Attis Osiris, Buku Satu,

Bab Tiga, membahas kerumitan dan makna sex dan menunjukkan bahwa sex bukanlah hasrat semata, melainkan upacara tertentu praktik keagamaan di dalam batas-batas yang telah ditenutkan dengan pasti.

Di dalam Antichrist, Nietsche mengajukan dua pertanyaan berikut: “Apakah kebaikan itu? Segala sesuatu yang mempertinggi perasaan berkuasa pada manusia, kemauan untuk berkuasa, kekuasaan itu sendiri.  Apakah keburukan itu? Segala sesuatu hyang dilahirkan dari kelemahan.” Bisakah konsep tentang Dionisius dan manusia Dionisian menjadi keburukan itu sendiri? Bisakah mereka menjadi contoh-contoh kelemahan di dalam hal mereka merupakan tanda-tanda negasi (penidakan) dan harapan supra-duniawi? Tampaknya ada kemungkinan.

Tinggalkan komentar