HOMINID – BIPEDALISM


Hominid

Istilah hominid digunakan untuk menyebut anggota keluarga Hominidae, yang merupakan keluarga dari manusia – termasuk manusia modern. Hominid termasuk ke dalam keluarga besar (superfamili) Hominoidea yang mencakup kera dan manusia, yang memiliki ciri-ciri seperti manusia. Hominoidea mempunyai tiga keluarga, yaitu Hylobatidae (siamang, kera Asia), Hominidae (manusia dan tipe-tipe fosil yang sejenis), dan Pongidae (gorila, simpanse, dan orangutan) (Barnouw, 1982 : 107). Istilah hominid ini berasal dari bahasa Latin homo yang secara harfiah berarti manusia (Ing. man). Penggunaan istilah hominid ini mengacu kepada kondisi biologis manusia sebagai bagian dari keluarga Hominidae, sementara penyebutan human atau manusia digunakan saat membicarakan manusia dalam konteksnya sebagai makhluk yang sosial dan berbudaya, baik dilihat dari segi perilaku dan segi biologisnya (Nelson & Jurmain, 1979 : 11). Beberapa ahli menggunakan istilah hominid bagi semua leluhur spesies manusia. Menurut mereka, hominid yang pantas disebut human hanyalah yang menunjukkan kecerdasan, moralitas, dan kesadaran mawas-diri yang setingkat dengan kita.

Homo sapiens adalah satu-satunya jenis hominid yang hidup hingga saat ini. Namun, pada masa-masa sebelumnya terdapat pula jenis-jenis hominid lain seperti Australopithecines, yang meskipun bukan merupakan manusia (human being), tetapi memiliki kemiripan yang cukup signifikan dengan manusia apabila dibandingkan dengan kera. Australopithecines hidup di antara Pliosen Akhir dan Pleistosen Awal atau sekitar 4 juta hingga 1 juta tahun yang lalu. Mereka mempunyai postur tubuh yang tegak, namun kapasitas otaknya lebih kecil daripada manusia modern.
—————————————

Perbedaan Hominid dengan Primata

Pertanyaan menyangkut kapan hominid dan pongid (primata lain) itu berubah dan berbeda menghasilkan jawaban yang bermacam-macam. Seorang ahli mengatakan bahwa perubahan ini terjadi kurang dari 8 juta tahun yang lalu, yaitu sekitar 4 juta tahun yang lalu. Ia menyatakan hal ini berdasarkan analisis molekular dari kesamaan dan perbedaan dalam DNA, protein, dan faktor-faktor imun pada gorila, simpanse, dan manusia. Sementara ini Sherwoon L. Washburn dan David A. Hamburg dalam bukunya tahun 1965, menempatkan perubahan ini pada sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 4 juta tahun yang lalu. Washburn percaya bahwa penggunaan perkakas mulai melesat dengan adanya evolusi, sehingga menyebabkan perubahan antara pongid dan hominid. Pertanggalan yang lebih dapat diterima oleh ahli yang lain mengenai perubahan antara pongid dan hominid ini adalah sekitar 20 juta tahun hingga 25 juta tahun yang lalu (Barnouw, 1982 : 114 – 115).

Dalam bukunya Man in The Primitive World, Hoebel (1958 : 35) menyebutkan beberapa hal yang menjadi perbedaan karakteristik pada primata dan hominid. Menurutnya, manusia, sebagai primata yang sudah berkembang sangat tinggi, memiliki karakteristik-karakteristik yang berbeda dari primata lainnya. Karakteristik tersebut antara lain adalah kapasitas otak yang paling besar, rahang yang paling kecil, dan gigi yang paling sedikit.
————–

Bipedalisme

Pembedaan antara hominid dengan hominoid yang lain terjadi saat menyinggung masalah habitat dan juga kemampuan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Kera lebih mudah menyesuaikan dirinya pada wilayah atau tempat yang bercabang-cabang (baca : pohon), sementara leluhur kita lebih mudah menyesuaikan diri di tempat yang menyentuh tanah (terrestrial) dan mengembangkan bipedalisme. Pada proses bipedalisme, beban untuk bergerak terletak pada kaki, yang mengakibatkan bebasnya tangan untuk membawa benda-benda dan juga menggunakan perkakas. Dalam perkembangannya, hal ini memudahkan hominid berjenis kelamin perempuan untuk menggendong anak-anaknya.

Menurut Richard Leakey, evolusi kemampuan berjalan tegaklah yang membedakan hominid purba dengan kera lain yang sezaman. Hal itu mendasar sifatnya bagi kelanjutan sejarah manusia. Spesies hominid pertama dianggap sudah mempunyai sedikit-banyak ciri bipedalisme, teknologi, dan ukuran otak yang besar. Para antropolog cenderung memandang pentingnya bipedalitas dalam evolusi manusia dengan dua cara yang kemudian menjadi hipotesa atau aliran, yaitu:

1. aliran pertama yang menekankan pentingnya membebaskan anggota tubuh bagian depan untuk bisa membawa barang, dan
2. aliran kedua yang beranggapan bahwa bipedalisme merupakan cara bergerak yang lebih efisien, dan menganggap kemampuan membawa barang hanyalah sebagai hasil sampingan yang kebetulan muncul dari sikap berdiri tegak itu sendiri (Leakey, 2003 : 21).

Bukti yang menunjukkan adanya proses bipedalisme pada hominid awal adalah cetakan kaki yang berusia kurang lebih 3.6 juta tahun yang lalu, yang ditemukan oleh Mary Leakey di Laetoli, Tanzania, Afrika Timur pada tahun 1978. Leakey mengatakan bahwa ia hampir yakin bahwa cetakan ini adalah cetakan kaki dari makhluk yang temasuk hominid, meskipun bentuknya lebih lebar daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. Ia mengatakan juga bahwa kemungkinan makhluk ini berjalan dengan lambat dan memiliki postur tubuh yang tegak (Barnouw, 1982 : 112).

Tiga kunci yang membedakan bipedalisme antara manusia dan simpanse, adalah
1. ketidakmampuan simpanse untuk memanjangkan sendi lututnya untuk menghasilkan kaki yang lurus,
2. keharusan untuk mengusahakan kekuatan pada ototnya untuk menyokong tubuhnya sendiri, dan
3. kebiasaan menekuk tubuh membuat tidak adanya layangan kaki pada tanah saat melangkah.
—————-

Hominid Awal

Hominid-hominid awal kemungkinan tidak mempunyai wilayah berkelana yang teratur dan berpola, namun mereka hidup berpindah-pindah, sesuai dengan kesempatan untuk mendapatkan makanan. Unit sosial dasar dipusatkan kepada seorang ibu atau perempuan, dan mungkin sudah terdapat kebebasan untuk memilih dalam kaitannya dengan hubungan seksual. Mereka juga kemungkinan sudah membangun sarang (nest), menggunakan perkakas dan benda lain (Pilbeam, 1970 : 84-85).

Oreopithecus bambolii adalah fosil primata yang diidentifikasikan oleh beberapa ahli sebagai hominid, meskipun ternyata bukan. O. bambalii yang ditemukan di wilayah Italia ini kemungkinan berasal dari masa Miosen, sekitar 13 juta tahun yang lalu. Dengan banyaknya perbedaan yang dimilikinya untuk dikategorikan sebagai hominid, pada akhirnya O. bambalii dimasukkan ke dalam keluarga hominoid (Barnouw, 1982 : 115).

Ramapithecus (yang kemudian berganti nama menjadi Sivapithecus) mewakili tahap awal perubahan pada hominid, dilihat dari susunan geliginya. Fosilnya ditemukan oleh G. Edward Lewis pada tahun 1934 di Bukit Siwalik, di sebelah barat laut India. Berdasarkan pengamatannya, Lewis menyimpulkan bahwa fosil ini memiliki ciri-ciri yang lebih menyerupai manusia dibandingkan menyerupai kera, sehingga ia juga menyimpulkan lebih lanjut bahwa fosil ini adalah jenis pongid yang berkembang, ataupun jenis awal hominid (Pilbeam, 1970 : 102).

Tahun 1924, Northern Lime Company sedang mengadakan penambangan di dekat kota Taung, Afrika Selatan, saat mereka menemukan fosil-fosil yang kemudian dikirimkan kepada Professor Raymond Dart di Universitas Witwatersrand, Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam bukunya, Asal Usul Manusia, Richard Leakey (2003: 25-26) menuliskan bahwa fosil ini terdiri dari bagian batok kepala, wajah, rahang bawah, dan rongga otak. Kepala bocah Taung ini memiliki banyak ciri kera, yaitu otaknya yang kecil, dan rahang yang menonjol. Sementara, Dart juga mengenali adanya ciri manusia pada tengkorak ini, seperti rahang yang tidak begitu menonjol seperti rahang kera, geraham yang rata, dan taring yang kecil. Petunjuk penting yang menjadi kunci dari segala ciri adalah letak foramen magnum pada fosil ini, yang menunjukkan bahwa fosil ini tadinya adalah kera yang bipedal. Hal ini ditunjukkan oleh letak foramen magnum-nya yang berada di tengah. Fosil bocah Taung (Ing. Taung baby) ini memiliki kapasitas otak sebesar 405 cc, dan dapat pula diperkirakan kapasitas otaknya jika ia dewasa, yaitu 440 cc.

Fosil-fosil yang berkaitan dengan keberadaan hominid awal kebanyakan ditemukan di wilayah Afrika Selatan (Makapansgat, Sterkfontein, Kromdraai, dan Taung) dan Afrika Timur (Danau Omo, Olduvai Gorge, Laetolil, Kanapoi, dan Hadar). Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai teori mengenai tempat di mana asal-usul manusia dimulai.

Tinggalkan komentar