Kasus Pembantaian Sabra – Shatila


Lebanon merupakan negara di Timur Tengah yang masyarakatnya memiliki komposisi agama yang paling beragam. Hal ini yang menyebabkan Lebanon sangat rentan akan gesekan antar agama tersebut. Beberapa konflik saudara akibat gesekan antar agama dan peperangan dengan negara lain tercatat pernah terjadi di Lebanon. Lebanon juga merupakan salah satu negara tujuan dari para pengungsi Palestina yang sedang dilanda konflik dengan Israel. Beberapa konflik saudara yang terjadi di Lebanon juga memakan korban para pengungsi Palestina tersebut. Perang saudara di Lebanon tercatat terjadi sekitar tahun 1975 hingga 1990. Dari berbagai rentetan perang tersebut, salah satunya adalah perang tahun 1982 antara kelompok Kristen Maronit Phalangis yang didukung oleh Israel dan Palestine Liberation Organization (PLO) yang didukung oleh beberapa kelompok Islam Lebanon.

Perang ini bermula pada bulan Juni 1982, ketika Israel menginvasi Lebanon, mengemudi sejauh utara ibukota, Beirut, konon dalam upaya untuk mengusir PLO. Invasi tersebut merupakan respon atas upaya-upaya pembunuhan terhadap duta besar Israel, Shlomo Argov di London. Perang tahun 1982 merupakan salah satu perang yang paling diingat oleh dunia internasional karena terdapat suatu peristiwa pembantaian berdarah terhadap para pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila. Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949 di mana selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah “kamp Sabra dan Shatila” menjadi biasa. Pembantaian ini dilakukan oleh kelompok Phalangis yang mendapat dukungan dari Israel.

Peristiwa pembantaian ini mula-mula berawal ketika Bashir Gemayel, seorang Kristen Maronit terpilih menjadi presiden Lebanon pada 23 Agustus 1982, terbunuh dalam sebuah ledakan di markas besarnya pada 14 September 1982. Para pemimpin Palestina dan Muslim menyangkal bertanggung jawab, namun Ariel Sharon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel mempersalahkan orang-orang Palestina, sehingga membangkitkan kemarahan kaum Falangis terhadap mereka. Brigadir Jenderal Amos Yaron, bertindak di bawah perintah dari Departemen Pertahanan Israel Ariel Sharon, mengizinkan pasukan Falangis memasuki kamp pengungsi meskipun pasukan yang sama sebelumnya terlibat dalam pembantaian warga Palestina yang tinggal di Lebanon. Pasukan milisi itu dipimpin oleh Eli Hobeika dan mulai masuk ke kamp pengungsian tersebut pada 16 September 1982. Selama 36 hingga 48 jam berikutnya, para milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, sementara militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan suar di malam hari. Jumlah korban dipekirakan mencapai 700 orang, tapi menurut saksi mata, seorang wartawan Inggris bernama Robert Fisk, jumlah korban meninggal dari kalangan pengungsi Palestina nyaris mencapai 1.700 orang, sedangkan Bulan Sabit Merah mempekirakan pengungsi Palestina yang menjadi korban tewas dalam peristiwa itu lebih dari 3.000 orang.


Proses Penegakan Hukum

Peristiwa pembantaian berdarah tersebut kemudian menyulutkan emosi dunia internasional. Banyak pihak yang mendesak untuk dilakukannya investigasi untuk mengetahui siapa dalang dibalik pembantaian tersebut. Mereka juga menuntut agar para pelaku yang terlibat dalam pembantaian tersebut untuk dihukum secara berat karena telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa Keempat 1949, pembantaian di kamp Sabra dan Shatila menyebabkan dari “penderitaan” dan “cedera serius” kepada penduduk kamp-kamp, yang secara hukum merupakan “orang yang dilindungi” di bawahnya. Dengan demikian, Brigadir Jenderal Amos Yaron bersalah atas “pelanggaran berat” di bawah 147 Pasal Konvensi Jenewa Keempat karena tanggung jawab komando selama pembantaian Sabra dan Shatila, Yaron secara pribadi bertanggung jawab atas perbuatan “kejahatan perang” di bawah prinsip-prinsip umum hukum internasional baik adat dan konvensional. Yaron tidak pernah diadili meskipun di AS dia pernah dituntut secara perdata oleh tiga korban Sabra-Shatila yang selamat. Namun, ia memiliki kekebalan diplomatik karena posisinya sebagai Atase Pertahanan Israel di AS.

Berdasarkan hasil penyidikan yang diadakan pemerintah Israel atas desakan dunia internasional menyangkut insiden pembantaian tersebut, Sharon dinyatakan bertanggungjawab secara pribadi (“personal responsibility”) atas insiden tersebut dengan mengirimkan milisi-milisi Falangis (Kristen) ke kedua kamp yang berada di bawah pengawasan Israel saat invasi Israel terhadap Lebanon tahun 1982. Ia kemudian dicabut jabatannya sebagai menteri pertahanan Israel. Setelah Komisi Kahan, Israel tidak pernah menindaklanjutinya dengan proses pengadilan, pada tahun 2001, salah seorang korban selamat dalam pembantaian mengajukan tuntutan hukum melalui pengadilan Belgia, namun karena tekanan lobi yahudi dan AS, pada bulan April 2003 parlemen Belgia mengamandemen undang-undang yang tidak memungkinkan Sharon diadili di Belgia. Namun, hingga kematiannya pada Januari 2014 setelah mengalami koma selama 8 tahun sejak 2006, Sharon tidak pernah diadili. Sedangkan, komandan pasukan Phalangis sendiri, yaitu Elie Hobeika juga tidak pernah diadili secara hukum hingga kematiannya pada 2002 akibat serangan bom di Lebanon.


Kesimpulan

Tiga orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian Sabra-Shatila, yaitu Ariel Sharon, Amos Yaron dan Elie Hobeika tidak pernah diadili secara hukum atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Padahal, mereka secara jelas telah melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi Jenewa 4 tahun 1949 karena telah membantai warga sipil Lebanon dan pengungsi Palestina saat perang tahun 1982.


DAFTAR PUSTAKA

Bayu. 2014. Ariel Sharon tinggalkan Hutang Keadilan.
http://www.liputanislam.com/berita/ariel-sharon-tinggalkan-hutang-keadilan/, diakses 2 Mei 2014

Boyle, Francis. 2012. Remembering Sabra and Shatila Massacre. http://id.muslimvillage.com/2012/09/23/28711/remembering-sabra-and-shatilla-massacre/, diakses 2 Mei 2014

Hendra. 2012. 30 Tahun Peristiwa Sabra Satila, Keadilan Belum Ditegakkan
http://www.dakwatuna.com/2012/09/18/22980/30-tahun-peristiwa-sabra-satila-keadilan-belum-ditegakkan/#axzz30WqOdFyg, diakses 2 Mei 2014

Kabar24. 2014. Pembantaian Sabra dan Shatila 31 tahun lalu. http://www.kabar24.com/international/read/20140112/10/208558/pembantaian-sabra-dan-shatila-31-tahun-lalu, diakses 2 Mei 2014

Tinggalkan komentar