JULIUS EVOLA – ROOTS WESTERN NIHILISM

Diposkan pada oleh Skeptical Inquirer

For some time, a good part of Western humanity has considered it a natural thing for existence to lack any real meaning, and for it not to be ordered by higher principle, arranging their lives in the most bearable and least disagreeable way they can.

This has its counterpart and inevitable consequence in an inner life that is more and more reduced, formless, feeble and elusive and in a growing dissolution of any uprightness and character.

For the symbolic expression of the complex process that has led to the present situation of crisis in matters of morals and the vision of life, the best formulation is that of Nietzsche said: “God is dead”.

“The death of God” is an image that characterizes a whole historical process. The phrase expresses a desacralization of existence and total rift with the world of Tradition.

Morality rendered independent from theology and metaphysics and founded on the sole authority of reason is the first phenomenon to take shape after the death of God, trying to hide it from consciousness.

But once morality has lost its root, which is the orginal and effective relationship of man with a higher world, it ceases to have any invulnerable foundation and the critics soon have the better of it.

In secular and rational morality, the only resistance to any natural impulse is an empty and rigid command, a “thou shalt” that is a mere echo of the ancient, living law.

Then at the point where one tries to give this “thou shalt” some firm content and to justify that content, the ground gives way.

Renouncing any intrinsic or absolute basis for “good” and “evil”, the justification proposed for what is left of moral norms is whatever suits the individual for his own advantage and for his material tranquility in social life.

But nihilism is already visible behind this morality. When there is no longer any internal restraint, every action behavior appears licit so long as the outer sanctions of society’s laws can be avoided or if one is indifferent to them.

The most acute forms of the modern existential crisis are appearing today at the margin of a civilization of prosperity. One sees there rebellion, disgust and anger manifesting not in a wretched and oppressed subproletariat but often in young people who lack nothing.

Burgeois civilization and society are the real and direct object of the destructive processes that so many people deplore today. Man, at a given moment, wanted to be free. He was allowed to be so, and he was allowed to throw off the chains that did not bind him so much as sustain him.

Thereupon he was allowed to suffer all the consequences of his liberation, following ineluctably up to his present state in which “God is dead”, and existence becomes the field of absurdity, where everything is possible and everything is allowed.

 

Tinggalkan komentar

Diterbitkan oleh Skeptical Inquirer

• Central For Inquiry (CFI) • Skeptical Inquirer • Free Inquiry • Point of Inquiry ------------------------------------------------------------ 1. Yang nyata ialah manusia itu sendiri bukan tuhan, bukan manusia pikiran tuhan, tetapi tuhan adalah pikiran manusia, agama tidak merubah kenyataan dan mengukir sejarah, tetapi manusia itu sendiri yang merubah dan mengukirnya. Bukan tuhan yang menciptakan manusia tetapi tuhan adalah angan-angan manusia. Agama tidak merubah kenyataan tetapi menusia bisa merubah kenyataan. 2. Agama ialah proyeksi manusia : tuhan, neraka, surga, malaikat. Kenapa? Karena manusia butuh tempat untuk mencurahkan keluhan karena dunia tanpa hati, jadi penderitaan tempat lahirnya tuhan. Dengan demikian agama disebut keterasingan manusia dari kehidupan karena struktur masyarakat tidak mengizinkan secara penuh perealisasian diri sendiri, sehingga manusia membangun kerajaan angan-angan (agama). Dalam kenyataan manusia menderita lalu ia mengharapkan surga 3. kenapa agama khayalan, karena agama tidak inderawi, sedangkan manusia inderawi, manusia penuh dengan kepastian sedangkan agama berbau unsur spekulatif, unsur yang tidak bisa diterima secara ilmiah 4. Jadi agama dan tuhan ialah ciptaan manusia itu sendiri, tetapi manusia itu sendiri lupa dengan ciptaanya (seperti pada zaman jahiliyah dahulu sebelum nabi muhamad dating : orang-orang kafir zaman dahulu mengukir tuhan dari kayu dan batu, yang kemudian disembahnya, sama seperti kita kini yang memproyeksikan tuhan lalu menyembahnya). Agama penyembahan tuhan terhadap dirinya sendiri. Agama penyembahan manusia terhadap ciptaanya sendiri 5. Sehingga khayalan atau angan-angan itu mempunyai eksistensi realitas yang membuat manusia takut dan harus menyembahnya dan tuhan mempunyai hakikat lain yang manusia harus sembah. Sifat-sifat itu yang membuat manusia egois. 6. Penderitaan manusia ialah tempat lahirnya tuhan, penderitaan yang memaksa manusia mengasingkan diri ke dalam agama, itulah dasar yang menyebabkan manusia merasa butuh agama dan tuhan 7. Teologi harus diganti menjadi antropologi dan agama ialah candu rakyat. 8. Kritik agama hanya meruska bunga khayalan pada rantai, bukan bunganya yang harus dipatahkan tetapi rantai itu sendiri. Rantai (factor yang menyebabkan manusia mengasingkan diri ke dalam agama) 9. Kita seperti wayang dengan penuh kesadaran dan kemauan tetapi kita tidak bisa lepas dari tangan sang dalang. 10. Kalau semua ini benar, maka manusia bukan merealisasikan keinginanya tetapi mengharapkan berkah dariNYA (proyeksi manusia itu sendiri/perubahan pasif) 11. agama ialah keterbatasan: agama melarang kita bergaul dengan duniawi, sehingga kita hanya memikirkan surgawi Tanpa agama kita bisa hidup lebih baik, tanpa mengaharapkan hibah/welas asih dariNYA, hanya mengandalkan kenyataan dan diri sendiri. 12. Kepasrahan adalah kelemahan agama 13. Tuhan seperti halnya dengan setan, bila ia terus diyakini dengan adanya exsistensinya maka semakin berkuasalah ia, kita seperti member roh kepadanya dengan keyakinan kita. GROUP : https://www.facebook.com/groups/scientistsecularist