Pergerakan Komunisme Pada Masa Pra-Kemerdekaan.


26 PKI.jpg

Pergolakan PKI 1926/1927

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial.
 
Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis.
 
 
Camp-camp_Bouven_Digul.jpg
 
Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah. Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra.
 
Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
 
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Muso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Muso hanya tinggal sebentar di Indonesia.
 
Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.
 

Pergolakan yang dilakukan PKI pada tahun 1926 merupakan sebuah bukti bahwa apa yang terjadi pada kongres tahun 1924 di kota gede Yogyakarta tidak mendapatkan kesepakatan bersama dari pimpinan pimpinan PKI pada saat itu. Setelah dilangsungkannya kongres di Yogyakarta tersebut, PKI memerintahkan untuk mengadakan mogok besar-besaran dikalangan para buruh.

Hal ini sontak saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang melihat ulah PKI tersebut. Pemerintah Hindia kemudian mengambil tindakan tegas terhadap tokoh-tokoh PKI dan semakin memperketat aktivitas mereka. Pada tahun 1925 Darsono diusir keluar Indonesia, Aliarcham dibuang ke Digul, sedangkan Alimin, Musso dan Tan Malaka terpaksa menyingkir ke luar negeri.

Sementara tokoh tokoh PKI yang masih bebas seperti Budisutjitro, Sugono, Suprodjo, dan lainnya mengadakan rapat di Prambanan untuk membicarakan keberadaan PKI yang semakin mengancam keberadaannya karena aktivitasnya telah dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada bulan Januari 1926 ternyata beberapa tokoh PKI seperti Alimin, Sanusi, Subakat, Winanta, Musso, Sugono dan Budisutjitro telah berkumpul di Singapura untuk membicarakan keputusan Prambanan. Kemudian mereka memutuskan Alimin untuk menemui Tan Malaka dan membicarakan mengenai keputusan Prambanan tersebut. Pada bulan Maret 1926, keputusan itu diterima oleh Tan Malaka dari Alimin di Manila. Tan Malaka kemudian menilai bahwa keputusan tersebut terlalu tergesa-gesa untuk dilakukan. Ia menilai bahwa pada saat itu PKI belum tepat untuk melakukan pemberontakan, dengan alasan PKI belum solid dan basis massa yang belum sepenuhnya sadar dan revolusioner. Kemudian Tan Malaka menjelaskan bahwa keputusan itu tidak legitimate karena belum dibicarakan dalam Komintern. Tan Malaka menjelaskan bahwa PKI merupakan salah satu anggota Komintern, jadi setiap pergerakan yang akan dilakukan harus terlebih dahulu dibahs dalam Komintern. Pada kesempatan itu Tan Malaka lima alasan sebagai nasehat politik, yaitu;

  1. Putusan Prambanan tersebut diambil tergesa gesa, kurang dipertimbangkan secara matang
  2. Putusan semata-mata karena provokasi dari pihak lawan dan tidak seimbang dengan kekuatan sendiri
  3. Putusan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan Komintern
  4. Tidak cocok dengan taktik dan strategi komunis, ialah massa aksi
  5. Kalaupun dilaksanakan akibatnya akan sangat banyak merugikan pergerakan rakyat di Indonesia.

Kemudian diantara Alimin dan Tan Malaka pun terjadi dialog mengenai pergerakan yang dilakukan oleh PKI. Namun tetap saja Tan Malaka menolak rencana pemberontakan yang akan dilakukan tersebut. Tan Malaka mengungkapkan ada empat alasan mengapa dia menolak keputusan prambanan tersebut; pertama, Tan Malaka melihat bahwa sebelumnya melakukan sebuah pergolakan hendaknya sebelumnya partai harus dipastikan dalam keadan

yang baik, kedua; kekuatan buruh dan tani belum terorganisir dengan baik, ketiga, masih banyak rakyat dan kekuatan lain yang belum terikat dengan PKI, dan keempat, kekuatan imperialis di sekitar Indonesia (Inggris, AS, Prancis) masih terlalu kuat dan bersatu. Dengan kata lain Tan Malaka menolak pemberontakan ini dilakukan. Namun Tan Malaka melihat bahwa Komintern merupakan pihak yang paling mempunyai otoritas dalam hal ini karena PKI merupakan salah satu instrumen Komintern.

Mendengar penolakan yang dilontarkan oleh Tan Malaka tersebut, maka Alimin kembali lagi ke Singapura untuk membahs kembali Keputusan Prambanan tersebut. Sesampainya di Singapura Alimin menceritakan penolakan beserta alasan yang diberikan Tan Malaka kepada tokoh-tokoh PKI di Singapura.

Alimin tidak menghiraukan saran dari Tan Malaka dan memutuskan untuk pergi ke Moskow bersama Musso untuk meminta pendapat dari Komintern. Salah satu tokoh PKI Sardjono yang masih tinggal di Singapura mengirim surat kepada Tan Malaka dengan pernyataan menolak saran dari Tan Malaka tersebut dan tetap akan melakukan pemberontakan (Revolusi).

Bagi sebagian orang, Tan Malaka ujud dari legenda kiri. Tokoh revolusioner militan dan misterius. Tapi, bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) tak seperti itu. Tan Malaka tak lebih dari seorang pengkhianat.

Apa pangkalnya?

Tanggal 25 Desember 1925, PKI melakukan konferensi di Candi Prambanan. Ini unik, rapat partai komunis dilakukan di lingkungan candi sisa feodal. Mungkin tempat ini yang paling aman. PKI kala itu memang sedang main umpet-umpetan dengan kekuasaan penjajah. Dalam pertemuan, semua anggota Hoofd Bestuur (Komite Sentral) yang ada di Indonesia hadir. Ditambah anggota dari daerah. Hasilnya mengejutkan: PKI akan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan Belanda.

Situasi sebelum pemberontakan memang mendidih. Pemogokan buruh terjadi di berbagai lokasi. Di Semarang, Surabaya, Jakarta dan Medan, buruh melumpuhkan pabrik. Sampai Mei 1925, tercatat 65 kali pemogokan dengan melibatkan tiga ribu anggota komunis. Surat kabar revolusiner seperti Api, Merdeka, Proletar, Halilintar, dan Guntur, semakin gencar menyerang pemerintahan. Pun, kaum tani tak ketinggalan.

Setahun bersiap, 12 Nopember 1926 pemberontakan pecah. Ini tercatatat sebagai pemberontakan pertama yang dipimpin oleh sebuah organisasi.

Jalannya pemberontakan cukup mencekam.

Paling awal terjadi di Batavia. Dari Kampung Karet, 200 orang menuju Jakarta Kota. Mereka begitu percaya diri. Massa yang lain muncul dari Mangga Dua. Sementara, serombongan orang dari Tanah Abang berpapasan dengan dua orang reserse Belanda. Terjadi duel. Dua reserse itu mengalami nasib sial: tewas. Rata-rata pemberontak membawa senjata berupa golok, pedang, tombak dan senjata api rampasan. Kantor telepon mereka duduki. Pos polisi diserbu. Sasaran bukan hanya milik pemerintah, tapi juga penguasa feodal. Di Meester-Conerlis, rumah Asisten Wedana diobrak-obrak. Setelah berlangsung dua hari, pemberontakan baru bisa dipadamkan.

Tak hanya di Batavia. Tangerang, Banten, Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kediri dan Sumatra Barat juga terjadi hal serupa. Mereka seolah muncul begitu saja. Massa berbondong-bondong membawa senjata. Tak takut bermuka-muka dengan aparat kolonial.

Memang semuanya bisa dipatahkan. Tapi menghasilkan satu hal: keberanian. Pemberontakan tak pernah sia-sia. Selalu ada pelajaran yang bisa ditimba. Sajak di nisan Aliarcham—tokoh pemberontakan yang gugur di Digul— tepat memberikan lukisan:

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas, tidak
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami jang meneruskan
Kerdja agung djuang hidupmu
Kami tantjapkan kata mulia hidup penuh harapan
Suluh dinjalakan dalam malammu
Kami jang meneruskan kepada pelandjut angkatan

Benar: pemberontakan itu akan menjadi bahan bagi para pelanjut angkatan. Takkan hilang tanpa bekas.

Ada beberapa alasan sebagai penyebab kegagalan pemberontakan itu. Di sini satu saja yang disebut: pengkhiatan Tan Malaka. Buku Pemberontakan November 1926 yang ditulis Lembaga Sedjarah PKI, menuliskan: ‘Pengchianatan trotskis Tan Malaka, baik sebelum pemberontakan, selama pemberontakan dan sesudah pemberontakan merupakan faktor jang perlu diungkapkan….’ Ada dua kata kunci di situ: ‘pengchianatan’ dan ‘trotskis.’ Trotskis adalah para pengikut Leon Trotsky, salah satu tokoh revolusioner Rusia.

Tan Malaka memang dikenal sebagai Bapak Trotskis di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Komite Esekutif Komunis Internasional Biro Timur Jauh, sebagai wakil PKI. Dalam posisi ini, menurut buku yang disusun PKI, ia berhubungan dengan orang-orang Trotskis. Dengan nada mengejek dituliskan karakter Tan Malaka yang terpengaruh ajaran Trotskis sebagai berikut: ‘…tidak lepas burdjuis ketjil intelektual jang kekiri-kirian, keburu nafsu….’ Mengapa orang kiri bisa menjadi kekiri-kirian dan keburu nafsu? Njoto menjawab dalam tulisannya,  Lenin dan Pembasmian Penjakit2 Burdjuis Ketjil. Cukup gamblang jawabannya: ‘karena keliru menilai keadaan dan kekuatan. Akibatnya, meninggalkan massa dan memaksakan keadaan.

PKI memang berseteru dengan pengkitut Trotskis. Mereka lebih condong pada Stalin. Tak heran Tan Malaka dilibas. Ini hujaman lain. Dalam sidang Komite Esekutif Komunis Internasional bulan April 1925, Tan Malaka membuat pernyataan bersangkutan tentang revolusi Indonesia. Katanya: ‘…kita hanya menunggu keuntungan dari revolusi dunia.’ Tak pelak, PKI mencemoohnya: ‘…kalau kita ikuti pandangan Tan Malaka maka Rakjat Indonesia tidak perlu melalukan melakukan revolusi…’ Mengikuti Tan Malaka berarti cukup menunggu saat baik, yaitu datangnya revolusi dunia. Pandangan ini dicerca oleh PKI sebagai paham revolusi permanen Trotskis yang bangkrut. PKI menilai, setiap negeri mempunyai syarat-syarat sejarah dan musuh-musuh revolusi sendiri, dan tak sama pula perkembangan gerakan revolusionernya. Jadi, tak bisa dibuat berwarna seragam.

Benarkah pandangan Trotskis bangkrut? Pastinya, pandangan itu memang tak pernah besar di Indonesia. Kelompok Trotskis lebih berkembang sebagai ordo Jubah Merah, bukan sebagai gerakan politik yang menjangkar ke bumi. Mungkin mereka menunggu saat yang tepat untuk muncul: mengikuti anjuran Tan Malaka.

Kunci kedua:  pengchianat. Tentu saja tuduhan ini serius.

PKI memberontak. Tan Malaka justru mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Partai ini digunakan untuk mensabot keputusan Prambanan. Tentu PKI punya bukti. Tan Malaka mengundang Suprojo dan Sugono ke Singapura, untuk diberi perintah guna menggagalkan pemberontakan. Utusan lain juga dikirim ke Sumatra Barat dengan tujuan sama. Organisasi tak satu lagi. Kesimpulan menjadi jelas: sebagai salah satu pimpinan PKI, Tan Malaka tidak tunduk pada keputusan partai dan justru mendirikan organisasi baru untuk pecah belah. Tak heran PKI melabelinya pengkhianat.

Jarak pengkhianat dan pahlawan sepertinya lebih tipis dari silir bawang. Pembongkaran yang dilakukan PKI tentu punya tujuan. Mungkin analisa PKI tak tepat. Tapi telah mengembalikan Tan Malaka ke bumi.

Bagi PKI, Tan Malaka tak ubahnya Brutus: menusuk dari belakang. Entah bagi yang lain. Bisa jadi ia seorang santo.

Hal ini menjadi tanda bahwa PKI tidak lagi sejalan dengan Tan Malaka. Dan ini menjadi awal lepasnya Tan Malaka dari sebuah partai yang dulu diharapkan dapat menjadi pelopor bagi pembebasan bangsanya dari penjajahan.

Setelah Alimin dan Musso sampai di Moskow mereka langsung mendiskusikan keputusan Prambanan tersebut kepada Stalin dan Trostky. Secara terang-terangan Stalin menolak rencana tersebut karena memang ia menilai hal tersebut merupakan sesuatu yang tergesa-gesa dan tanpa perhitungan yang matang. Stalin pun memerintahkan mereka kembali ke Indonesia. Musso menolak keputusan Stalin tersebut dan berinisiatif untuk tetap melakukan pemberontakan tersebut. Namun sebelum Musso dan Alimin sampai ke Indonesia pergolakan sudah meletus.

Pada saat subuh dan fajar menyingsing tepatnya tanggal 12 Nopember 1926 PKI melancarkan perampasan gedung telepon dan telegraf di Batavia (Jakarta). Namun pada pagi harinya tentara Belanda berhasil merebut kembali bangunan strategis tersebut, dan dalam waktu sepekan saja pemberontakan 1926 tersebut dapat diakhiri. Jelas saja pemberontakan ini dapat dipatahkan dengan mudah, karena kurang perencanaan yang matang dan musuh masih terlalu kuat. Atas pemberontakan ini, pemerintah Hindia Belanada semakin mengawasi gerak-gerik para tokoh-tokoh komunis dan bahkan Belanda menangkap sebanyak 13.000 aktivis kiri pada saat itu dan menahan sebagian dari mereka sesuai dengan undang-undang yang melarang adanya pemberontakan. Sedangkan tokoh-tokoh PKI menjadi buronan bagi pemerintah Hindia Belanda sehingga banyak dari mereka harus melarikan diri ke luar negeri.

26 PKI.jpg

Tinggalkan komentar