KEBENARAN BAGI NIETZSCHE


(Sebuah Pemikiran Nietzsche mengenai Kebenaran)

 

“Barangkali, Kebenaran itu adalah seorang Wanita

yang terbentuk untuk tidak memperlihatkan dasarnya”[1]

Nietzsche


Prolog

Nietzsche menggambarkan “Kebenaran” sebagai seorang “Wanita”. Wanita yang misterius. Wanita yang perlu dipahami, dikagumi, sekaligus dihormati. Namun, seringkali banyak orang berusaha untuk menelanjanginya. Mereka mencoba mencari dan menangkap bagian yang-terdalam darinya. Berabad-abad lamanya, “Wanita” telah mempesona dunia. Bahkan, sejak awal penciptaan, Hawa telah mempesona Adam. Wanita begitu menarik. Tak ada kata menyerah untuk berusaha meraih, mendekap, bahkan mencecapinya. Itulah Wanita. Itulah Kebenaran. Ia selalu dikejar-kejar, “bahkan sampai ke ujung dunia pun akan kucari”, itulah kata ribuan bahkan jutaan manusia di muka bumi ini. Di hadapan Wanita, di hadapan Kebenaran, mereka menemukan rasa penasaran yang mencapai puncaknya. Dan pada saat yang sama, mereka merasa tak berdaya. Hingga akhirnya, mereka pun berkata, “Apakah ada Wanita? Apakah ada Kebenaran?”

Dari pertanyaan di atas, penulis akan mencoba memaparkan pemikiran Nietzsche mengenai “Kebenaran” (Wanita). “Apa itu Kebenaran? Apa yang ada di balik Kebenaran? Apakah Kebenaran (Wanita) itu benar-benar ada? Lalu, apa yang dapat kita perbuat?” Melalui tuntunan pertanyaan-pertanyaan inilah penulis mencoba memasuki pemikiran Nietzsche mengenai Kebenaran.

Realitas Seada-Adanya, Kebenaran, dan Kehendak Kuasa

Sebelum masuk dalam konsep Kebenaran Nietzsche, lebih dulu kita perlu bertanya mengenai realitas yang ada. “Apa itu realitas yang ada?” Nietzsche menolak realitas yang seringkali ditunjukkan berada di-balik-dunia-senyatanya, yang menurut Plato adalah Idea, bagi Aristoteles Ousia, menurut Descartes Kesadaran (Res), das Ding an sich bagi Kant[2], atau Roh Absolut menurut Hegel[3]. Bagi Nietzsche, realitas yang ada itu adalah “realitas seada-adanya”. Di sini, Nietzsche tampaknya tidak ingin “berlari” terlalu jauh. Baginya, justru dengan “berlari” ke dunia-sana, manusia seringkali lupa akan apa yang ada di samping kiri atau kanannya. Nietzsche ingin menunjukkan bahwa manusia seringkali memiliki kecenderungan untuk membuat fiksi tentang dunia yang lebih nyata dari senyatanya – mereka berlari ke IdeaOusiaRes, das Ding an sich, atau Roh Absolut, yang jelas-jelas tidak “ada” (hanya sebuah khayalan belaka). [4]

“Realitas seada-adanya” itu, bagi Nietzsche, memiliki sifat kontradiksi, ambiguitas, positif dan negatif, kaotik, campur baur, dan juga benar sekaligus salah.[5] Namun, Nietzsche tidak berhenti di situ saja. Ia tentu saja berusaha memahami dan mengerti “realitas seada-adanya” itu melalui kata. Dan, pada saat yang sama, ia sadar mengenai keterbatasan kata itu sendiri. Walaupun begitu, Nietzsche tetap menggunakan kata, namun tidak berujung pada fiksasi sebuah ide atau konsep Baginya, lewat kata yang ada, pemikiran dapat membuat kita paham atas apa yang lebih luas lagi.[6] Menurutnya, “kata” ituadalah Kehendak Kuasa[7].

“Dunia ini adalah Kehendak Kuasa – dan tak ada yang lain!

Dan kamu dirimu sendiri juga adalah Kehendak Kuasa ini – dan tak ada yang lain!”[8] 

Bagi Nietzsche, Kehendak Kuasa ini merupakan gairah hidup yang paling primordial bukan hanya dalam diri manusia, melainkan juga di dalam seluruh realitas (dunia).[9] Hal ini juga bukan berarti Nietzsche ingin menunjukkan bahwa dunia ini maya. Justru Nietzsche ingin mengatakan bahwa dunia ini benar-benar nyata, dan kenyataan itu ditunjukkan dengan kenyataan primordial yang melandasi segala proses di dunia ini, yaitu Kehendak Kuasa.[10]

Kehendak Kuasa bukanlah suatu prinsip atau substansi metafisis, melainkan dapat dipahami sebagai cause. Namun, bukanlah sebuah “sebab eksterior” (yang bertindak atas sesuatu yang dapat menimbulkan “efek eksterior”), melainkan sebagai “sebab”sejauh efek-nya juga pada kehendak itu sendiri. Kehendak Kuasa ini adalah sebuah identitas yang bergerak (tidak mampat atau diam di tempat). Ia adalah sesuatu yang selalu mencari bentuk dan terus menjadi namun belum-jadi. Ia sebuah pra-bentuk kehidupan yang selalu bergerak.[11] Ia tampak di mana saja dan berada dalam seluruh keberadaannya. Ia adalah suasana psikis dan metabolisme fisiologis makhluk hidup, hukum termodinamika di alam, gerak fisis, dan seluruh proses “menjadi” dari kosmos ini. Ia merupakan daya vital yang memotivasi segala sikap dan tindakan makhluk hidup, termasuk manusia. Dalam arti inilah, Kehendak Kuasa merupakan dasar dari segala sesuatu.[12] Namun, tetap perlu diingat bahwa Kehendak Kuasa bukanlah segala-galanya. Kehendak Kuasa bukanlah esensi realitas itu sendiri. Namun, di sisi lain Kehendak Kuasa tetap berguna untuk membantu kita memahami (meng-kata-kan) realitas[13]. Sebagai sebuah kataKehendak Kuasa sangat kaya dan sangat plural.

Lalu, apa itu kebenaran di hadapan sebuah Kehendak Kuasa? Bagi Nietzsche, kebenaran, seperti segala sesuatu yang lain, tak lain hanyalah salah satu fungsi kekuasaan. Kriteria kebenaran, baginya terletak dalam penambahan Kehendak Kuasa. Benar, jika menambah Kehendak Kuasa. Salah, jika mengurangi Kehendak Kuasa. Dengan begitu, kebenaran tidak bersangkut paut dengan isi logis suatu proposisi. [14] Kebenaran atau kesalahan terletak pada derajat pengaruhnya pada Kehendak Kuasa (menambah atau mengurangi kekuasaan).


Perspektivisme

“Semua kebenaran adalah fiksi:

setiap fiksi adalah interpretasi;

dan semua interpretasi adalah perspektif.”[15]

Tentang “Kebenaran Nietzsche”, tampaknya kita perlu juga berbicara mengenai perspektivisme. Untuk memahami perspektivisme, baiklah kita memulai perjalanan kita dengan melihat “pengetahuan”. Telah banyak orang berusaha menemukan kebenaran dengan mendasarkan diri pada pengetahuan yang dianggap obyektif dan dapat dipercaya (karena telah melalui tahap-tahap ketat ilmiah untuk mencapai sebuah pengetahuan). Melalui pengetahuan, mereka percaya bahwa kebenaran yang absolut dapat diperoleh. Sebuah kebenaran yang merangkul semuanya. Namun, bagi Nietzsche, pengetahuan yang telah diandalkan berabad-abad lamanya ini, tak lain dan tak bukan adalah sebuah instrumen kekuasaan[16]. Ini berarti bahwa pengetahuan tetap saja tak bisa lepas dari Kehendak Kuasa. Maka, tujuan dari pengetahuan bukanlah mencari sebuah kebenaran absolut, melainkan lebih untuk menundukkan sesuatu. Kenyataan yang sebenarnya selalu berubah dengan dinamis, dengan kekuatan pengetahuan, dijadikanlah sebuah tatanan, rumusan, konsep, dan skema-skema yang menundukkannya pada sesuatu yang statis. Singkatnya, pengetahuan berusaha merubah Warden (“menjadi”) menjadi Sein (“ada”)[17]. Bukankah ini sebuah praktek penaklukan. Maka, tak mengherankan jika pengetahuan seringkali tumbuh bersama kuasa. Seringkali apa yang dianggap sebagai pengetahuan, yang dianggap benar, hanyalah sebuah fiksi karena semua itu tergantung dari interpretasi sang penafsir (ilmuwan). Ada sebuah sudut pandang di sana. Ada sebuah kebutuhan di sana. Bahkan, seseorang harus yakin bahwa tindakannya itu benar sekalipun jika keyakinannya itu adalah sebuah kebohongan[18]. Maka, kebenaran dapat dikatakan sangat bersifat perspektival, tergantung perspektif penafsir. Dan pada analisis terakhir, perspektif ini adalah suatu Kehendak Kuasa. Inilah yang kemudian dikenal sebagai perspektivisme Nietzsche.[19] Maka, bagi Nietzsche tidak ada yang namanya Kebenaran Absolut.[20]


Kebenaran (Wanita) itu Ada (?)

[Jika menurut Nietzsche bahwa Kebenaran Absolut itu tidak ada, “Apakah itu berarti bahwa kebenaran (wanita) yang sesungguhnya itu benar-benar tidak ada?”]

Bagi Nietzsche, kebenaran – sampai tahap ini – masih hanya ingin mengungkapkan kebutuhan subyektif manusia[21]. Kebenaran hanya dianggap sebagai sebuah properti yang dapat dimiliki. Banyak orang menganggap sesuatu benar karena ingin menganggapnya benar. Bahkan, seseorang harus yakin bahwa tindakannya itu benar sekalipun jika keyakinannya itu adalah sebuah kebohongan[22].  Dengan begitu, “kebenaran” itu dirasa dapat memberi kelegaan, keamanan, dan ketenteraman bagi hidupnya. Bagi Nietzsche, kebenaran bukanlah sebuah properti atau harta milik[23]. Kebenaran tidak dapat di-fix-kan, apalagi jika hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Menurutnya :

“Kebenaran-kebenaran adalah ilusi-ilusi yang telah dilupakan bahwa mereka itu ilusi,

 metafor-metafor usang yang telah kehilangan kekuatannya, keping uang yang telah terhapus gambarnya yang tidak lagi dianggap sebagai uang melainkan logam belaka.”[24]

Namun, “bukankah dengan mengatakan bahwa ‘kebenaran itu ilusi’, pernyataan Nietzsche itu juga dapat dianggap sebagai sebuah “ilusi” (sejauh itu dianggap benar)? Dan, dengan begitu tidak ada kebenaran?” Tentu saja ini tidak mudah.

Bagi Derrida, Kebenaran dalam pemikiran Nietzsche itu tidak ada, yang ada hanyalah selubung[25]. Sedangkan, Goenawan Mohamad berpandangan bahwa “bila Nietzsche menganggap kebenaran sebagai ilusi, maka itu artinya ada yang ‘benar’ dan ada yang ‘ilusi’. Dan, St. Sunardi mengungkapkan, “bukankah dengan mengutarakan kalimat itu (kebenaran adalah ilusi), Nietzsche sebenarnya mengutarakan kebenaran?” Dengan begitu, jelaslah di sini bahwa Goenawan Mohamad dan St. Sunardi menunjukkan bahwa kebenaran (wanita) dalam pemikiran Nietzsche itu Ada[26]. [Pointnya, Nietzsche mengajak kita menguji kebenaran yang kita yakini (mungkin itu hanyalah ilusi?)]


Di Hadapan Wanita (Kebenaran) (?)

Wanita adalah misteri[27]. “Wanita tidak akan membiarkan dirinya ditaklukkan”[28]. Wanita adalah sebuah horizon ketakterbatasan di hadapan manusia. Jika kebenaran adalah wanita, maka para filsuf dogmatis adalah pria-pria bodoh yang tidak tahu bagaimana caranya mengambil hati wanita. Bagi Nietzsche, para filsuf ini terlalu percaya diri, dogmatis, dan serius.[29] Mereka seperti anak-anak muda Mesir yang karena rasa ingin tahunya, masuk ke kuil dan menyingkap selubung patung-patung. Mereka ingin mengetahui kebenaran sebenar-benarnya. Bagi Nietzsche, “Itu semua merupakan kejijikan yang sudah kita campakkan; Kita tidak lagi percaya bahwa sebuah kebenaran akan tetap sebuah kebenaran manakala selubungnya disingkap.”[30] Kebenaran itu adalah wanita dengan selubungnya – dua-duanya. Di hadapannya kita perlu menjunjung sopan santun dan hormat.

Namun, bagi Nietzsche, wanita (kebenaran) bukanlah sebuah tujuan (telos). Wanita adalah dunia, hidup, dan realitas apa adanya. Ia hanyalah kata. Namun, bukan berarti hanya diterima apa adanya. Melainkan, kita perlu menanggapinya dengan “ya-tidak” sekaligus. Tak lebih, tak kurang. Sebagai kata, ia juga tak ingin dipermainkan berlebihan – Derrida telah melakukannya, dan telah menyakiti hatinya[31]. Di hadapan wanita, kita perlu berhenti di permukaan, di lipatan, di kulit luar, karena tahu persis arti sebuah kedalaman (seorang wanita) – kebenaran.

Beranikah kita berhenti ???

***


Daftar Pustaka

Copleston, Frederick. 1963. A History of Philosophy Vol. VII. London: Search Press.

Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.

STF Driyarkara. 2003. Driyarkara (Th.XXVII, No.1). Jakarta: STF Driyarkara.

STF Driyarkara. 2004. Driyarkara (Th.XXVII, No.2). Jakarta: STF Driyarkara.

Tanesini, Alessandra. 1995. “Nietzsche Theory of Truth” dalam Australasian Journal of Philosophy (Vol. 73, No.4, December 1995).

Universitas Gadjah Mada. 2006. Humanika (19 (3), Juli 2006). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Wibowo, A. Setyo. 2004. Gaya Filsafat Nietzsche.Yogyakarta: Galang Press.

Internet

Olson, Nate. 2001. “Perspectivsm and Truth in Nietzsche’s Philosophy: A Critical Look at the Apparent Contradiction” dalam http://www.stolaf.edu/depts/philosophy/reed/2001/perspectivism.html  (diakses pada Rabu, 30 September 2009, Pkl. 10.20 WIB).


[1] Kata Pengantar Nietzsche paragraf keempat dalam bukunya yang berjudul La Gaya Scienza (Pengetahuan yang Mengasyikkan)(Bdk. A. Setyo Wibowo, 2004, Gaya Filsafat Nietzsche,Yogyakarta: Galang Press, hlm. 123.)

[2] Ibid, hlm. 112.

[3] Bdk. Fitzgerald K. Sitorus, 2003, “Mengatasi ‘Surga’, Mengiyakan ‘Dunia’” dalam Driyarkara (Th.XXVII, No.1), Jakarta: STF Driyarkara, hlm. 35.

[4] Op.cit., hlm112.

[5] Dalam pandangan ini, Nietzsche mengikuti pemikiran Herakleitos. (Bdk. A. Setyo Wibowo, 2004, Gaya Filsafat Nietzsche,Yogyakarta: Galang Press, hlm 111 & 114.)

[6] Bdk. A. Setyo Wibowo, 2004, Gaya Filsafat Nietzsche,Yogyakarta: Galang Press, hlm. 236.

[7] Bdk. Dwi Kristianto, 2004, “Konsep Friedrich Nietzsche Tentang Kebenaran” dalam Driyarkara (Th.XXVII, No.2), Jakarta: STF Driyarkara, hlm. 81.

[8] “This world is the Will to Power – and nothing else! And you yourselves too are this Will to Power – and nothing else!” (Bdk. Frederick Copleston, 1963, A History of Philosophy Vol. VII, London: Search Press, hlm. 407.)

[9] Bdk. F. Budi Hardiman, 2004, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, hlm. 271.

[10] Ibid., hlm. 272.

[11] Ibid., hlm. 239.

[12] Bdk. Effendi Kusuma Sunur, 2007, “Matinya Kebenaran: Hilangnya Yang Absolut dalam Perspektivisme Nietzsche” dalam Driyarkara (Th.XXIX No.2), Jakarta: STF Driyarkara, hlm. 52.

[13] Bdk. A. Setyo Wibowo, 2004, Gaya Filsafat Nietzsche,Yogyakarta: Galang Press, hlm. 239.

[14] “Truth is not a property of statements, but a function activity; more specifically, individual activity.” (Grimm dari Nietzsche Werke, seperti yang dikutip oleh Dwi Kristanto, 2004, “Konsep Friedrich Nietzsche Tentang Kebenaran” dalam Driyarkara (Th.XXVII, No.2), Jakarta: STF Driyarkara, hlm. 83.)

[15] Bdk. Frederick Copleston, 1963, A History of Philosophy: Vol. VII, London: Search Press, hlm. 410.

[16] Bdk. F. Budi Hardiman, 2004, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, hlm. 273.

[17] Ibid.

[18] Bdk. Nate Olson, 2001, “Perspectivsm and Truth in Nietzsche’s Philosophy: A Critical Look at the Apparent Contradiction” dalam http://www.stolaf.edu/depts/philosophy/reed/2001/perspectivism.html  (diakses pada Rabu, 30 September 2009, Pkl. 10.20 WIB).

[19] Ibid.

[20] Bdk. Nate Olson, 2001, “Perspectivsm and Truth in Nietzsche’s Philosophy: A Critical Look at the Apparent Contradiction” dalam http://www.stolaf.edu/depts/philosophy/reed/2001/perspectivism.html  (diakses pada Rabu, 30 September 2009, Pkl. 10.20

Tinggalkan komentar