KOMPASKU IALAH KEMATIAN: KRITIK RESOLUSI TAHUN BARU DAN KEHIDUPAN YANG SPEKTAKULE


Now most will write what they will be next year as our life in this year closes. It may be easier for all to just look behind thinking if they have fulfilled anything worthy. Resolutions are viruses, it stick forever in your system unless you cure it.

Kami berbincang semalaman, sembari menenggak sekaleng bir dingin yang buih-buihnya kian menguap seraya kata-kata melontar dari mulut kami di tiap detiknya.

Aku tidak bisa lagi meminta malam yang lebih baik dari itu.

Kegiatan-kegiatan semacam ini sudah menjadi semacam kebiasaan di setiap kesempatan kami bertemu. Kami berbicara panjang lebar dengan berbagai macam topik, tentang “Titicut Follies” dan kaitannya dengan teori Foucault; diskusi banal dan futile mengenai situasi politik di Indonesia; kehidupan, entah itu personal, atau general; kisah percintaan yang sepertinya tidak akan pernah ada habisnya; tentang kebosanan dan rekuperasi hasrat; dan tentu saja, ketika kesunyian mulai membelenggu, semua pembincaraan itu lalu bermuara pada topik yang sebenarnya agak kuhindari.

Konfusius pernah berkata bahwa resolusi itu adalah perihal komitmen. Memang, resolusi yang ia bicarakan disini bukanlah sebuah resolusi tahun baru per se, tetapi sebuah resolusi hidup: resolusi yang berfungsi sebagai kompas penentu jalan dalam pengembangan hidupatau bisa dibilang, resolusi sebagai kompas moral.

Seberapa banyak, atau seberapa jauh seseorang berkembang dalam kehidupannya, itu dapat diukur dari seberapa kukuh pencariannya akan apa yang dinamakan oleh jen, sebuah pandangan altruistik mengenai pengalaman manusia. Dan semua dapat dimulai dengan komitmen, dengan sebuah resolusi untuk mengejar pembelajaran, pembelajaran yang bersifat fundamental dalam proses transformasi seorang individu biasa, menjadi individu yang penuh dengan kebajikan.

Tetapi aku rasa, bahkan Konfusius pun akan berubah menjadi kakek tua bodoh yang confused (notice the pun) jika ia dihadapkan pada situasi dan kondisi di kehidupan yang jauh lebih rumit seperti sekarang.

Karena pada kenyataannya, kemauan untuk berkomitmen itu sendiri akan dengan mudah pudar, jika harus bersinggungan dengan segala problematika yang terjadi dan yang kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari.

Aku percaya bahwa kita masih punya pilihan. Yang menjadi penghalang, biasanya adalah pelabelan, dan karakterisasi-karakterisasi banal di kehidupan kita yang terus memaksa kita untuk ikut menjadi bagian di dalamnya.

Dalam puisi Robert Frost yang berjudul “The Road Not Taken”, tersirat jelas bahwa biasanya, jalan yang paling berarti dan penuh makna adalah jalan yang tak banyak orang tempuh.

Resolusi yang Konfusius utarakan, akan pencarian dan pembelajaran hidup, bukan hanya sekedar jalan yang tak banyak ditempuh, tetapi malah jalan yang tak pernah ditempuh di kehidupannya. Dan mungkin jika dilihat berdasarkan epoch, situasi dan kondisi moral yang dihadapi Konfusius pada masanya, tidaklah jauh berbeda dengan yang kita hadapi sekarang.

Bagaimana tidak? Lihat saja di sekelilingmu. Ketika engkau berbincang dengan, entah itu keluarga, kawan-kawanmu, kolega, atau siapapun itu, lalu tanyakan pada mereka, apa resolusi tahun baru mereka.

Aku yakin sebagian besar dari mereka menjawab hal-hal yang serupa, mencari jalan yang termudah dan banyak ditempuh; agar di tahun-tahun ke depan, mereka mendapat kebahagiaan, kehidupan yang santai dan jumawa, terpenuhi, tanpa adanya refleksi terhadap diri sendiri, dan pada akhirnya bergantung dan mengarah kepada kenyamanan dan kekayaan material, seberapa pun kerasnya mereka berkelit dengan alasan-alasan prinsipil, atau bahkan yang berkaitan dengan kepercayaan agama. Mungkin mereka bisa membodohi orang lain, tetapi tidak diriku. Aku adalah orang yang realistis. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan mereka karena mengambil jalan yang banyak di tempuh. Toh, hidup itu memang adalah soal pilihan. Tidak menjadi masalah.

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I,
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

— Robert Frost, “The Road Not Taken”

Setiap orang mempunyai hak untuk mengambil jalan yang banyak di tempuh, ber-resolusi, berkomitmen, terhadap hal-hal yang dapat menjanjikan kebahagiaan mereka. Begitupun juga sebaliknya. Aku mempunyai hak untuk mengambil jalan yang tidak banyak orang tempuh.

Tetapi apakah lalu hal itu dapat membuatku bahagia? Sejujurnya, aku tidak tahu.

Tidak mau tahu.

Aku berbeda dengan kebanyakan orang, karena disaat banyak orang berpikir tentang resolusi di tahun baru, tentang bagaimana kehidupan akan membawa mereka, aku berpikir tentang kematian.

Aku bernafas kematian. Tidak ada hal yang pasti dari sebuah resolusi, bahkan aku agak terkejut karena nampaknya Konfusius pun tidak menyadari akan hal itu.

Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah kematian. Bergantinya tahun adalah pertanda bagiku bahwa kematian kian semakin mendekat. Justru dengan menghirup nafas kematian, aku menghembuskan hidup. Menyadari betapa berharganya detik dan menit yang kulewati di setiap hari, bahkan tahun yang silih berganti pun seakan tidak berarti.

Aku tidak butuh resolusi. Kematian, adalah kompasku.

Tinggalkan komentar